Bentuklah anak untuk merasa ingin berkembang, bukan merasa ingin pintar-Anonym
Sebagai orangtua, aku pasti berbohong jika tak terbesit keinginan memiliki anak yang pintar. Secara sadar, aku juga menanamkan doktrin itu sejak kecil pada anakku. "Wah! Anak ayah pintar!"
Logika yang dibangun dari salah satu pesan melalui WAG Parenting di atas adalah, jika tujuan akhir anak menjadi pintar, dan suatu saat anak merasa "cukup pintar", mereka merasa tak lagi perlu belajar!
Sebab, mereka telah mengalami "kepuasan" saat meraih kepintaran tersebut. Baik berpedoman pada ukuran diri sendiri, sesuai standar orangtua atau membandingkan kemampuan diri dengan orang lain.
Padahal, semua orangtua pasti mengerti dan pernah mengalami. Â Jika perjalanan hidup dan masa depan anak, tak melulu persoalan pintar atau tidak pintar, kan? Ada kalanya, yang dibutuhkan adalah memiliki "daya lenting". Â Yaitu kemampuan mencari solusi secara mandiri.
Hal di atas, berhasil mengajakku menyigi ulang tahapan pembentukan karakter dan perkembangan anak. Apalagi, membangun "keinginan untuk pintar" bagi anak itu, tak semudah membalikkan telapak tangan, tah?
Setiap anak memiliki karakter yang berbeda. Tentu saja mesti menggunakan rumus yang berbeda juga. Jika menelaah konsep parenting, setidaknya ada 3 karakter anak dalam pola asuh anak.
Pertama. Easy Child.
Anak yang memiliki tipe ini, di kalangan orangtua, dikenal dengan istilah anteng. Anaknya mudah beradaptasi dengan orang dan lingkungan. Jika di rumah, bisa saja duduk tenang menonton televisi tanpa merecoki orangtua atau orang sekitarnya.