"Pakailah ilmu cacing!"
Itu kalimat ayahmu. Mertuaku. Saat berdiri di depan pintu rumah, ketika akan berpamitan. Tepukan pelan kedua tangan sepuh di bahu, memaksaku anggukkan kepala. Tak mampu bersuara, apalagi bertanya.
Kau pun pasti mendengar kalimat ayah. Sebab kau berdiri di belakangku. Sama sepertiku, tak ada suaramu. Hari itu, kau kuajak ke rumahku. Bukan lagi sebagai teman dekat, tapi sebagai istriku. Hari ketiga, setelah acara pernikahan.
***
"Mas masih ingat, pesan Ayah kemarin?"
Pertanyaan itu, kau ajukan sambil menyajikan segelas kopi pagi di hadap dudukku. Aku menatapmu. Satu minggu menjadi pengantin baru. Menjadi masa yang indah sekaligus susah. Aku mesti mengingatkan diri jika sudah berperan sebagai suamimu. Kukira, kaupun pasti berusaha menjadi istriku.
"Mas!"
Suara juga cubitanmu, mengajak pulang kesadaranku. Wajahmu mulai terlihat mendung. Kuusap pelan kepalamu. Tangan kananku, meraih gelas berkopi di atas meja. Kau menatapku. Menunggu reaksiku.
"Kurang manis, Mas? Gulanya..."
"Siapa yang berani bilang, istri Mas kurang manis?"
"Iiih..."
Kali ini, kedua tanganmu bersatu. Berubah menjadi capit kalajengking. Beraksi sesukamu di paha, lengan, bahu juga pipi dan hidungku. Itu, caramu jika kehabisan kata-kata. Biasanya akan disusul dengan pukulan. Mungkin saja kau terlupa.
"Mas ingat kalimat..."
"Iya. Pesan ayah, pakai ilmu cacing!"
"Maksudnya apa?"
"Biar Mas cacingan!"
Plak! Plak! Plak!
***
Pertanyaanmu pagi itu, kembali memaksaku mencari tahu tentang ilmu cacing. Pengalaman masa kecilku, cacing digunakan sebagai umpan mencari belut atau saat memancing ikan. Begitupun saat sekolah. Aku juga tahu, jika cacing untuk menyuburkan tanah.