Ibumu sering hadir ke rumah. Terkadang menginap, walau hanya satu malam. Tapi acapkali hanya singgah sebentar. Tak perlu kutanyakan sebab kedatangan. Karena ibumu juga mendengarkan ucapan bidan, jika dirimu dua minggu lagi akan melahirkan.
"Langsung pulang?"
"Iya. Bilangnya, minggu depan aja nginap!"
"Oh!"
"Tapi ada yang aneh tadi! Ibu heran, kenapa kita gak..."
"Datang ke rumah ibu? Kan sering?"
"Bukan itu. Kenapa kita gak pernah bertengkar? Sebab..."
Kalimatmu terhenti saat menatapku. Kau mengerti, aku tak pernah izinkan dirimu berbicara tentang masalah rumahtangga. Apalagi urusan rumahtangga orang lain. Dan kau sepakati itu.
"Lah? Memang begitu, kan?"
"Iya. Tapi..."
"Nanti kalau ditanya lagi, bilang aja, karena pakai ilmu cacing!"
"Hah?"
***
Aku pernah menjelaskan padamu tentang ilmu cacing, sebagaimana pesan ayahmu dulu. Dari cacing, aku belajar menahan diri dari bermacam keinginan. Dari cacing aku mengerti, untuk hidup tak perlu melukai. Pun dari cacing aku memahami, agar bermanfaat bagi orang lain.
Tapi aku tak pernah menjelaskan, jika cacing itu lebih suka menyendiri. Bahkan mau mengorbankan diri. Sepertimu. Untuk anakmu.
Kau tahu? Malam ini aku mengingatmu. Akupun ingin sepertimu. Untuk anakmu.
Curup. 07.06. 2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H