Hanya itu ilmuku tentang cacing. Saat kuliah pun, aku belum pernah mendapatkan mata kuliah ilmu cacing. Tapi aku tahu. Di usia sepuh ayahmu, pasti banyak jejak perjalanan yang ditemui. Hingga aku sebagai menantu, diberi pesan itu.
Akupun merasa terlalu sungkan untuk bertanya saat itu. Karena suara tangisan ibumu terdengar, saat memelukmu di belakangku. Namun, tak menanyakan hal itu, menjadi keputusan terburuk dariku.
Isi kepalaku, nyaris setiap hari mencari makna ilmu cacing. Beberapa buku kucari. Membahas tentang bermacam-macam cacing, manfaat cacing hingga akibat buruk dari cacing. Namun, kukira tak mungkin pesan ayahmu itu, memintaku untuk memelihara cacing.
Diam-diam, kubiarkan pesan ayahmu mengendap di pikiran. Karena aku  masih harus belajar menjadi suami, juga mesti berjuang membuktikan jika aku adalah lelaki seperti impianmu. Kau pun tak lagi bertanya. Kecuali memintaku mengantarmu membeli bahan-bahan untuk jahitanmu.
***
"Mas! Tadi Ayah mampir. Tapi cuma sebentar!"
"Hah! Ada apa? Ayah sakit? Atau... "
"Hanya singgah. Kan, udah lama gak bertemu?"
"Gak ditawari makan atau ngopi dulu?"
"Iya. Sudah! Tadi Ayah bawa gulai kepala ikan! Mas suka, kan?"
Kau tertawa sambil menarik lengan kiriku, mengajak masuk ke rumah. Nyaris satu tahun berlalu. Itu kali ketiga ayahmu datang ke rumah. Dan selalu tak bertemu denganku. Kabar kedatangan ayah, kudapatkan setelah pulang bekerja.
"Ngopi, Mas?"
"Lah? Bilangnya tadi pagi..."
"Ayah juga bawa gula dan kopi!"
Kau bergerak pelan menuju dapur. Aku garuk kepala menunggu. Tak lama, kau hadir di hadapku sambil membawa segelas kopi. Aku tertawa, melihatmu susah untuk duduk di sebelahku. Delapan bulan usia kehamilanmu, membuat gerakmu terbatas. Tapi tawaku terhenti, ketika dua tanganmu membentuk gumpalan yang melahirkan kepalan.
"Jahat! Malah ketawa!"
Sedikit gemetar menahan tawa. Segera kuraih gelas berkopi. Kau tersenyum menatapku. Perlahan, kurasakan kopi buatanmu. Sambil berpikir dan bersiap memberikan jawaban, andai kau bertanya tentang rasa kopi itu. Tapi tak ada tanyamu.
"Lah? Kenapa gak bertanya?"
"Udah dicicipi tadi! Udah manis!"
"Iya! Tanpa dicicip pun, istri Mas udah manis!"
Plak! Pluk! Plak!
***
"Mas tadi ibu ke sini?"