Masa kecil dulu, aku mengenal ujaran "siapa cepat, dia dapat". Ketika di sekolah dasar seringkali siapa yang cepat mengumpulkan tugas, akan mendapatkan hadiah dari guru. Begitu juga, saat jam terakhir pelajaran. Siapa yang bisa menjawab pertanyaan, boleh segera pulang!
Masa itu, lebih dulu keluar pintu, walau hanya jarak satu menit dari teman sekelas, bangganya luar biasa. Besok-besok, bersama teman-teman akan rebutan menjawab. Akan ada pertengkaran atau malah keributan di kelas.
Adakalanya merasa senang, ditunjuk guru untuk menjawab karena lebih dahulu mengacungkan jari telunjuk. Namun menjadi malu, wajah memerah terkadang marah diteriakkan teman sekelas karena jawaban salah. Hiks
Kedua. Membiarkan Kesempatan Terlepas Begitu Saja.
Namun, seiring bertambah umur, Stimulus cepat dan dapat itu, berubah, menjadi lambat dan selamat. Kalimat "pelan-pelan saja, yang penting selamat!" lebih sering terdengar. Kalau bahasa Jawa, "alon-alon asal kelakon".
Hal itu, seirama dengan pesan Petuah Minang "Jan sampai tabali lado pagi!" maksudnya, sebagai nasehat, jangan ambil keputusan membeli cabe di pagi hari, jika ternyata cabe pada siang atau sore hari lebih bagus dan harganya lebih murah!
Petuah "jangan buru-buru" lebih sering dijumpai. Begitu juga pesan mesti sabar. Karena bisa saja menguntungkan. "Man sabara zafara" pepatah Arab ini menyimpan pesan, siapa yang bersabar akan beruntung.
Bandingkan dengan Fenomena Kekinian? Kecepatan menjadi ukuran mutlak dalam nyaris semua aspek kehidupan. Kuambil contoh kusut masai kebijakan tentang Covid 19. Sila simak, begitu keteteran gerak nadi pemimpin negeri juga masyarakat. Semua berlomba ingin cepat.
Mungkin dengan energi yang dimiliki bisa saja mewujudkan "Biar cepat asal selamat!" Atau malah terkadang diungkapkan dengan nada menantang, "kalau bisa cepat, kenapa harus lambat?"
Resikonya? Kebijakan acapkali berubah arah, atau malah anulir sebelum sempat dijalankan. Masyarakat? Semakin memburu minta penjelasan. Yang terjadi? Perdebatan, tah?