"Derita menjadi tertanggungkan ketika ia menjelma cerita." -- Hannah Arendt
Tersendatnya keinginan-keinginan menjadi kenyataan adalah jalan pintas melahirkan perasaan derita.
Jika menyigi sebab, terkadang derita seseorang didominasi faktor internal dari diri. Ketika dorongan pikiran merangkum simpul rekaman yang tertangkap semua indera ragawi, diwujudkan dalam bentuk keinginan.
Namun, adakalanya keinginan itu, karena dorongan faktor eksternal atau dari luar diri. Ketika keinginan orang-orang terdekat, secara langsung atau tidak, secara sadar atau tidak, dititipkan pada pikiran yang kemudian berubah menjadi keinginan pribadi daripada keinginan kolektif.
Acapkali sulit bagi manusia untuk meredam keinginan-keinginan. Seperti seorang petani membayangkan panen yang akan diraih, membuat daftar kebutuhan ini dan itu. Padahal saat itu, jemarinya masih menanam satu-persatu biji jagung ke dalam lobang di ladang.
Jika keinginan itu terwujud, dan hasil panen mampu memenuhi segala keinginan itu. Maka kepuasan dan kebanggaan menjadi ukuran kebahagiaan. Bagi diri sendiri atau untuk kebahagiaan bersama.
Namun, jika ternyata gagal panen bersebab perubahan cuaca, serangan hama atau saat panen mengalami ketimpangan harga? Terus, lebih gawat lagi, jika keinginan dan semua harapan itu "terlanjur" diujarkan kepada orang lain, kan?
Maka keinginan bertukar menjadi kegagalan. Kemudian bergeser lagi, menimbulkan keluhan, dan diam-diam bermuara menjadi beban. Nah, kukira rada riweh mencari orang yang mau diajak untuk rela berbagi beban, tah?
Kegagalan mewujudkan satu atau beragam keinginan, jika tak menemukan "saluran pelepasan" yang tepat guna, akan bermetamorfosis menjadi keluhan, beban, tekanan hingga penderitaan bagi seseorang saat menjalani etape kehidupan di masa depan.
Kukutip dari Wikipedia.org. Arti kata Katarsis atau Khatarsis (bahasa Yunani) adalah "penyucian atau pembersihan diri", juga ada yang memaknai sebagai pembaharuan mental dan melepaskan ketegangan.
Jika mengintip ranah psikologi, katarsis adalah mengekspresikan emosi diri, menjadi sarana pelepasan secara bebas, juga sebagai ungkapan kelegaan dari kecemasan yang dirasakan.
Berbeda orang, akan berbeda cara melakukan katarsis. Bisa melalui ucapan, tulisan atau juga berbentuk tindakan. Ada yang biasa pendiam, tetiba berteriak sekeras-kerasnya, atau malah bersembunyi dan mengurung diri di kamar sunyi. Pokoke, berbeda ari kebiasaan sebelumnya.
Atau seperti para pujangga tetiba melahirkan puisi cinta dan mendayu, padahal sebelumnya suka menulis puisi tentang kritik sosial, para pelukis tetiba menciptakan masterpiece lukisan abstrak dengan aliran surealisme, padahal sebelumnya penganut aliran realisme!
Jamaknya dipahami dan mudah disigi, bahwa katarsis adalah ucapan, tulisan dan tindakan yang "melawan arus" kebiasaan seseorang dari kondisi sebelumnya. Ada juga yang membuat kategori, berbentuk katarsis yang bagus dan yang buruk.
Katarsis yang bagus, setelah melakukan pelepasan emosi yang bemakna penyucian atau pembersihan jiwa, maka segala sekat emosi itu tak lagi ada. Namun, ada juga katarsis buruk, bukannya menyelesaikan, malah tekanan itu bertambah! Dalam beberapa kasus, malah berwujud depresi hingga bunuh diri. Hiks..
Balik lagi pada kalimat Hannah Arendt di awal tulisan. Mungkin, ada baiknya mulai berlatih "memenjarakan" keinginan agar tak berujung penderitaan. Apalagi saat pandemi covid-19 ini, butuh sipir penjara bernama "tega" agar semua orang mampu menahan diri dari banyak keinginan.
Namun, jika tak mampu dan merasa menderita? Bercerita melalui lisan atau tulisan adalah upaya menetralisir derita, ketika tak lagi mampu menanggung beban dan banyak keinginan yang tak menjadi kenyataan. Plus memaafkan diri sendiri.
Halah! itu teori, kan? Padahal pada prakteknya, pasti susah!
Anggap saja, sama halnya dengan meminta maaf atau memaafkan seeorang. Ada yang setelah bermaafan akan selesai semua salah. Namun ada juga salah yang tidak pernah bisa usai.
Ibarat luka. Tak semua luka bisa sembuh! Ahaaay...
Curup, 28.05.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H