Kukutip dari Wikipedia.org. Arti kata Katarsis atau Khatarsis (bahasa Yunani) adalah "penyucian atau pembersihan diri", juga ada yang memaknai sebagai pembaharuan mental dan melepaskan ketegangan.
Jika mengintip ranah psikologi, katarsis adalah mengekspresikan emosi diri, menjadi sarana pelepasan secara bebas, juga sebagai ungkapan kelegaan dari kecemasan yang dirasakan.
Berbeda orang, akan berbeda cara melakukan katarsis. Bisa melalui ucapan, tulisan atau juga berbentuk tindakan. Ada yang biasa pendiam, tetiba berteriak sekeras-kerasnya, atau malah bersembunyi dan mengurung diri di kamar sunyi. Pokoke, berbeda ari kebiasaan sebelumnya.
Atau seperti para pujangga tetiba melahirkan puisi cinta dan mendayu, padahal sebelumnya suka menulis puisi tentang kritik sosial, para pelukis tetiba menciptakan masterpiece lukisan abstrak dengan aliran surealisme, padahal sebelumnya penganut aliran realisme!
Jamaknya dipahami dan mudah disigi, bahwa katarsis adalah ucapan, tulisan dan tindakan yang "melawan arus" kebiasaan seseorang dari kondisi sebelumnya. Ada juga yang membuat kategori, berbentuk katarsis yang bagus dan yang buruk.
Katarsis yang bagus, setelah melakukan pelepasan emosi yang bemakna penyucian atau pembersihan jiwa, maka segala sekat emosi itu tak lagi ada. Namun, ada juga katarsis buruk, bukannya menyelesaikan, malah tekanan itu bertambah! Dalam beberapa kasus, malah berwujud depresi hingga bunuh diri. Hiks..
Balik lagi pada kalimat Hannah Arendt di awal tulisan. Mungkin, ada baiknya mulai berlatih "memenjarakan" keinginan agar tak berujung penderitaan. Apalagi saat pandemi covid-19 ini, butuh sipir penjara bernama "tega" agar semua orang mampu menahan diri dari banyak keinginan.
Namun, jika tak mampu dan merasa menderita? Bercerita melalui lisan atau tulisan adalah upaya menetralisir derita, ketika tak lagi mampu menanggung beban dan banyak keinginan yang tak menjadi kenyataan. Plus memaafkan diri sendiri.
Halah! itu teori, kan? Padahal pada prakteknya, pasti susah!