Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Seni Menulis Berpijak dari 3 Petuah Minang

25 Mei 2020   19:49 Diperbarui: 26 Mei 2020   20:15 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Bahasa adalah identitas bangsa. Kalimat ini, acapkali kudengar. Namun, apatah kemudian Bahasa lisan dan bahasa tulisan kemudian bisa dianggap cerminan dari pikiran anak bangsa?

Jika dalam kajian interaksi sosial, salah satu unsurnya adalah komunikasi. Maka dalam komunikasi, cara menyampaikan pesan lisan atau tulisan termasuk unsur inti. Secara tak langsung, tulisan adalah bagian dari pergaulan, tah?

Izinkan, aku tulis seni komunikasi menulis, berpijak dari petuah Minang. Jika diadaptasi sebagai proses kreatif menulis. Karena, selain silat sebagai olahraga bela diri, dengar-dengar orang Minang juga terampil bersilat lidah. Benarkah? Aku tulis, ya?

"Elok diawak, katuju di urang"

Secara lugas bermakna "baik untuk diri sendiri, orang lain pun setuju". Kalimat di atas adalah petuah tetua minang, ketika akan memutuskan atau melakukan suatu tindakan.

Varian dari keputusan atau tindakan itu, biasanya berwujud ucapan, sikap maupun prilaku. Butuh menimbang-nimbang, apakah hal itu tersebut akan merugikan, menyinggung atau menyakiti?

Ukurannya? Dicoba dulu pada diri sendiri! Bisa saja keputusan atau tindakan itu, bagus untuk kita, tapi bagaimana jika itu diterapkan pada orang lain? Apatah akan merasakan hal yang sama?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com

"Tau di rantiang ka mancucuak, tau jo dahan ka maimpok"

Pesan ini, menyiratkan "kehati-hatian" dalam memutuskan atau melakukan suatu tindakan. Sebelum itu dilaksanakan, terlebih dahulu melakukan analisis resiko, menyigi dampak yang mungkin akan terjadi.

Apatah hal itu akan menjadi "duri dalam daging" yang akan menghambat, atau malah menciptakan resiko yang lebih buruk lagi bagi diri sendiri dn orang lain.

Secara pribadi, aku acapkali terbuai, jika membaca artikel-artikel yang ditulis Mamanda Tjiptadinata Effendi. Sapaan Mamanda bermakna Mamak atau paman. Dalam adat Minang, figur prestisius yang mesti dituruti selain Orangtua.

Mungkin perjalanan dan pengalaman hidup yang panjang, hingga Kompasianer senior yang baru saja menjejakkan usia pada angka 78 Tahun ini, melahirkan tulisan-tulisan yang mampu mengajak pembaca pada dimensi ruang dan waktu untuk melakukan refleksi diri.

Kemasan diksi yang halus dipilih untuk menyampaikan pesan dan gagasan yang terkadang tajam. Sehingga "pukulan-pukulan" yang disajikan, jauh dari kata menyakikan.  

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Nan tuo dihormati 
Samo gadang bao bakawan 
Nan ketek disayangi 
Induak jo ayah diutamokan

Orang yang lebih tua dihormati, seumuran diajak berteman, yang kecil disayangi, dan orangtua tetap yang utama. 4 hal ini, menjadi panduan kunci sebagai garis dasar adab dalam budaya Minang.

Akan berbeda cara menulis dan pilihan kata, semisal kita mengirim surat atau pesan pada orangtua, teman sebaya atau yang lebih muda, kan?

Terkadang, tua, sebaya atau lebih muda, tak hanya tentang usia. Bisa saja karena alasan pengalaman yang dimiliki, keilmuan yang dalam, atau pangkat dan jabatan termasuk status sosial seseorang, juga menjadi ukuran, tah?

Anggapanku, tak hanya berlaku saat berhadapan langsung saat berbincang, bersikap atau berprilaku. Namun juga akan berpengaruh dalam tulisan.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Jadi? Setidaknya dari petuah-petuah Minang di atas, dalam hal menulis, tanpa sadar kita akan menyigi pada 3 tahapan berikutnya, dari seni komunikasi orang Minang.

Pertama. Sesuai Alur.

Makna alur di sini bukan berarti plot atau jalan cerita. Tapi, ukuran benar atau tidak yang kita tulis? Selayaknya pesawat itu di udara, kapal di laut atau kereta api mesti bergerak di dalam rel.

Kedua. Sesuai Patut.

Apatah konten yang ditulis itu pantas atau tidak? Sesuai dengan ukuran budaya dan tradisi yang terbungkus dalam norma-norma yang hidup di masyarakat, atau tidak?

Atau demi sensasi ingin tampil beda, kemudian melakukan "keganjilan" yang melawan arus. Kasus prank "youtuber sampah", bisa menjadi salah satu "kegagalan" menimbang ukuran patut ini.

Ketiga. Sesuai Mungkin.

Kalau dalam perencanaan, makna sesuai mungkin ini dikenal dengan istilan "asumsi". Menghitung beberapa kemungkinan yang bisa mendukung keberhasilan, atau malah hal-hal yang akan menjadi ancaman berujung kegagalan.

Apatah menghadirkan kebaikan dan kebermanfaatan. Atau sebaliknya, menciptakan kekacauan dan huru-hara?

Hematku, jika mengindahkan 3 hal ini saat mengemas ide serta gagasan ke dalam tulisan, kukira keren, ya?

Curup, 25.05.2020
Zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun