"Hamdallah! Akhirnya lebaran serentak, Bang!"
Saat itu, kau tersenyum ke dapur. Bagimu, perbedaan pendapat tentang penentuan hari pertama Ramadan serta penetapan 1 Syawal, selalu membuat khawatir.
Kau tahu, aku lebih sepakat dengan metode hisab, dan sebagai istri tentu saja mengikutiku. Tapi keluarga besarmu tak begitu. Beberapa kali, perbedaan hari lebaran membuatmu tersudut.
Tak hanya tentang Ramadan dan lebaran. Akupun acapkali berbeda sikap tentang cara berdoa yang harus melalui syarat tertentu, penyelenggaraan ta'ziah yang terkadang bikin riweh ahli musibah, atau beberapa ritual aneh yang dianggap adat.
Selalu beda! Itu cap yang dilekatkan padaku. Sejak awal berkenalan, pacaran hingga menikah. Sesungguhnya, kau terbiasa dengan ungkapan itu. Dan, kau menerima segala resiko itu, saat menerimaku sebagai suamimu.
"Gak risih?"
Pernah sekali waktu, kuajukan pertanyaan sia-sia itu. Dan akupun tahu, tak perlu menunggu jawabmu. Karena tak akan pernah ada jawaban untuk itu. Yang ada, hanya kalimat Tanya yang juga tak perlu kujawab.
"Kan udah begitu, dari dulu?"
***
"Bang, kita belum bayar zakat?"