Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Pengalaman Bermaaf-maafan? Berdiri dalam Lautan Manusia di Lapangan Terbuka

22 Mei 2020   22:05 Diperbarui: 22 Mei 2020   22:07 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemasangan tali pembatas saf di malam takbiran. Tahun ini tak ada. (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan/Kompasiana)

"Memaafkan, tapi tidak melupakan."

Kalimat ini, beberapa kali kubaca. Terlepas dari hal itu terlontar secara serius atau tidak, hematku narasi ini tetap bersemayam di setiap orang. Dan, hidup tak akan luput dari salah. Bisa saja diri pribadi yang melakukan kesalahan tersebut atau orang lain.

Melontarkan kata maaf akan sangat mudah. Namun, bernarkah memaafkan kemudian melupakan kesalahan itu tak hanya sekedar ucapan? Namun juga terpancar dari sikap prilaku serta pikiran?

Karena tak ada ukuran yang pasti tentang memaafkan atau melupakan. Sesungguhnya yang paling tahu itu, adalah isi hati pemberi dan penerima maaf!

Sebelum menulis tentang momen memaafkan yang berkesan, aku coba menyigi  lebih dulu, 3 varian dari kalimat di atas tadi, ya? Yang acapkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Aku tulis, ya?

Ilustrasi Memaafkan dan melupakan (sumber gambar : https://www.hipwee.com/)
Ilustrasi Memaafkan dan melupakan (sumber gambar : https://www.hipwee.com/)
Memaafkan atau Melupakan?

Pertama. Memaafkan, tapi Tidak Melupakan.

Akhlaq mulia itu adalah memberi maaf, sebelum orang meminta maaf. Ajaran ini, sudah ditanamkan sejak dari lingkungan keluarga, masyarakat juga pada lembaga pendidikan.

Mampu memaafkan dan lebih dulu meminta maaf menjadi syarat setiap orang agar masuk kategori orang terpuji. Namun, ungkapan memaafkan atau meminta maaf, tak pernah seberat melupakan.

Pada cerita para sufi, sama seperti seseorang yang memaku sebilah papan. Upaya "memaafkan atau meminta maaf" ditamsilkan dengan mencabut paku. Namun, jejak lobang yang ditinggalkan dari bekas paku tersebut adalah makna "melupakan".

Usaha menambal dengan dempul atau teknik pertukangan modern lainnya, bisa saja menghilangkan bekas itu pada sebilah papan. Namun jejak diingatan, "tak akan pernah lagi sama" seperti kondisi sebilah papan sebelum dipaku. Iya, kan?

Kedua. Melupakan, tapi Tidak Memaafkan.

Tindakan adalah kebalikan dari poin pertama. Bersedia melupakan, namun tak bisa memaafkan. Adakah? Kalau ditunggu pengakuan, tak aka nada yang ngaku, tah? Namun dari tindakan, bisa terlihat yang memilih cara ini.

Interaksi serta komunikasi yang dulu rekat dan erat, karena ada kesalahan, kemudian menjadi renggang. Bahkan menjauh atau memupuk jarak sebagai upaya untuk melupakan.

Contoh sederhananya, bisa dilihat dari pasangan yang memilih untuk berpisah. Kemudian menjalankan kehidupan dengan pasangan masing-masing.

Namun, bisakah melupakan tanpa memaafkan? Kukira tidak! Jika memaafkan, tak akan terjadi perpisahan. Jika mampu melupakan, benarkah tak lagi mengingat kesalahan?

Ketiga. Memaafkan dan Melupakan.

Ini pribadi yang luarbiasa. Semua orang kukira ingin seperti ini. Ketika dua individu, saling bermaafan kemudian sepakat untuk memulai dari baru lagi. Tanpa mengingat kejadian di masa lalu. Pertanyaannya, mampukah?

Kisah Abu Bakar Siddiq, bisa menjadi contoh beratnya makna memaafkan dan melupakan. Kejadian yang menjadi Asbabunnuzul (sebab turunnya ayat) surat Annur Ayat 22.

"...Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Annur : 22)

Dikisahkan, sebab turunnya ayat ini, karena sikap Abu Bakkar Siddiq yang bersumpah tidak akan memaafkan seorang sahabat yang biasanya diberikan nafkah oleh Abu Bakar, Namun telah menfitnah Aisyah RA, anak sekaligus Istri Nabi Muhammad SAW berzina.

Usai keluarnya ayat ini. Abu Bakar memaafkan sahabat tersebut, dan kembali memberikan nafkah (infaq) seperti sebelumnya. Namun apakah abu bakar melupakan? Aku pribadi, belum membaca sejarah yang menegaskan itu.

Hematku, poin kedua dan ketiga, akan sangat sulit dilakukan atau ditemukan. Tindakan yang bisa dilihat, adalah poin pertama. Memaafkan, namun tidak melupakan. Tapi, ini menurutku, ya?

Terus apakan momen serta pengalaman bermaaf-maafan yang berkesan menurutku?

Ilustrasi menyaksikan momen Saling Bermaafan dalam Lautan Manusia. (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan/Kompasiana)
Ilustrasi menyaksikan momen Saling Bermaafan dalam Lautan Manusia. (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan/Kompasiana)
Belum Terjadi, tapi Pasti Kurindukan!

Aku tak bisa menjelaskan ritual saling memaafkan di dalam keluarga besarku. Karena, acapkali memaafkan dan dimaafkan, tak pernah terucap secara lugas. Hanya pelukan, rangkulan, usapan serta airmata yang mewakili momentum itu.

Aku lebih memilih saling bermaafan usai shalat ied di lapangan. Yang tahun ini, dipastikan tak akan lagi diselenggarakan. Aku cerita, saja, ya?

Sejak kecil, setiap malam Idul Fitri aku akan hadir di lapangan setianegara Curup. Bersama teman-teman menyiapkan saf dengan memasang tali pembatas, menyusun soundsytem serta mengatur area parkir bagi jamaah sholat Ied. Sila baca Potret shubuh 1 syawal 1440H

Ilustrasi Pemasangan tali pembatas saf di malam takbiran. Tahun ini tak ada. (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan/Kompasiana)
Ilustrasi Pemasangan tali pembatas saf di malam takbiran. Tahun ini tak ada. (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan/Kompasiana)
Keseruan malam kegiatan malam takbiran itu, kuteruskan kepada semua anak lelakiku. Mereka pun kuajak terlibat "begadang". Dan pulang menjelang shubuh untuk bersiap kembali ke lapangan melaksanakan sholat Ied.

Usai shalat. Aku, anakku serta teman-teman tak langsung pulang ke rumah. Tapi kembali bekerja membereskan semua peralatan dan membersihkan lapangan seperti semula. Bersih dan rapi. Bisa baca Shalat Ied, Sampah dan Bahagia yang Sederhana

Saat seperti itulah, akan terlihat anak kecil hingga orangtua, rakyat kecil atau pejabat, tumpah ruah, saling menebar senyum, berpelukan dan bertukar salam. Tak ada yang lebih rendah, tak ada yang lebih tinggi. Semua bersama merayakan hari kemenangan.

Bahkan, bisa saja, saat di lapangan itu, suasana membuat hanyut perasaan. Kita mungkin bertemu sahabat lama yang puluhan tahun tak berjumpa, atau malah busuh bebuyutan yang membuat kita saling mengulurkan tangan untuk berucap maaf. pernah aku tulis, Idul Fitri, Kembali Merasakan Kesucian Jiwa

Coba bayangkan, jika berdiri di tengan ribuan jamaah yang bertegur sapa walau sekedar tatapan mata yang saling berpandangan dan saling berbalas senyuman, itu adalah momentum luarbiasa yang bisa disaksikan dalam momen memaafkan.  Luar biasa, kan?

Namun, kali ini momentum itu tak lagi ada. Semoga tahun depan kembali  berjumpa jika usia masih ada.

Momentum membersihkan lapangan usai shalat Ied, tahun ini dipastikan tak akan terjadi (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan/Kompasiana)
Momentum membersihkan lapangan usai shalat Ied, tahun ini dipastikan tak akan terjadi (sumber gambar : Dokumentasi Pribadi zaldychan/Kompasiana)
Curup, 22.05.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun