Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

#JanganMudikDulu! Anggap Aja sebagai Celengan Rindu?

21 Mei 2020   21:29 Diperbarui: 21 Mei 2020   21:29 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi himbauan jangan mudik (sumber gambar : https://megapolitan.kompas.com/)

"Jangan mudik, jangan mudik dulu, enggak mudik tetap asik"

Ini lagu viral dalam beberapa hari ini. Di media sosial juga di layar televisi. Video  dengan durasi 0.55 detik, melibatkan beberapa menteri Kabinet Indonesia Maju, serta sejumlah kepala daerah.

Ada pro dan kontra? Iya harus! Itu salah satu bukti adanya dinamika berbangsa dan bernegara. Namun esensinya tersampaikan. Ada pesan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona.

Anggap saja, masyarakat memang butuh hiburan di tengah kesusahan, dan para pemimpin membuktikan, mampu melakukan itu, kan?  

Himbauan melalui lagu ini, kemudian didaur ulang dengan varian bahasa oleh para selebritis dan influencer. Salah satunya, Youtuber Eka Gustiwana yang memadukan lagu "Jangan Mudik Dulu" tersebut  dan mampu menghimpun 80 Bahasa Daerah.

Sebelumnya, Eka Gustiwana juga mengkompilasi ajakan pemerintah sebelumnya #dirumahaja. Dengan mengajak relawan, terbukti mampu menghimpun ajakan yang istilah kerennya stay at home itu dalam 42 bahasa daerah. Kreatif, tah?

Ilustrasi pengendara motor di titik pengawasan PSBB (sumber gambar : https://www.motorplus-online.com/)
Ilustrasi pengendara motor di titik pengawasan PSBB (sumber gambar : https://www.motorplus-online.com/)
Terkadang, Memilih Pilihan Terbaik Itu Susah!

Terlepas dari cara atau pola yang dipilih untuk menekan penyebaran wabah, serta beberapa kebijakan terkini pemerintah, yang dinilai kontraproduktif dengan ajakan dari lagu tersebut. Sesungguhnya, anak bangsa memiliki kekuatan yang tak bisa diganggu gugat. Yaitu "menentukan pilihan".

Contoh? Sedahsyat apapun ancaman hukuman bagi pelaku korupsi atau narkoba, tetap saja ada orang yang melakukan korupsi dan melakukan beragam transaksi narkoba, tah?

Begitu juga dengan perbuatan salah, menghasilkan dosa dan bermuara neraka. Mereka tahu, namun tetap melakukan itu, kan?

Karena keputusan "iya atau tidak" juga "ikut atau tidak" adalah pilihan. Setiap orang berhak dan berkuasa penuh untuk menentukan pilihan. Karena dasar melakukan atau tidak melakukan itu memiliki beragam alasan, dan pastinya setiap orang juga berbeda argumentasinya.

Hanya saja, persoalan mudik, apatah lagi menjelang lebaran, bagi sebagian orang dianggap sebagai perjalanan ritual. Bukan sekedar pelepas rindu, bertemu sanak keluarga dan kerabat terdekat di kampung. Namun lebih kepada kepuasan psikologis.

Jika menyigi domain psikologis, alasan serta argumentasi logis apapun yang diujarkan, hanya menjadi semacam "penguat". Keputusan tetap pada individu.

Sila lihat foto-foto yang viral di media massa dan media sosial. Ketika himbauan menjaga jarak aman secara fisik, malah berdesakan antrian membeli tiket, walau masih mengenakan masker.  

Atau upaya pemudik yang luarbiasa mengakali petugas di setiap perbatasan daerah yang terkadang aneh dan nyeleneh.

Bagi sebagian orang, angka-angka tersebut adalah tragedi kemanusiaan. Hingga marak kalimat dengan hastag #IndonesiaTerserah atau  kalimat yang menyindir, "sekarang gantian. kami dirumah, anda bekerja". Sebagai pembelaan untuk paramedis serta semua orang yang berada di garda terdepan, saat korban terus berjatuhan.

Namun, bagi sebagian orang. Hanya berupa angka-angka statistik. Menjadi "angka pembanding", dengan Negara lain, atau dengan propinsi dan kabupaten lain. Sepanjang dirinya tak termasuk dalam angka statistik itu. Hiks...

Ancaman apalagi yang kurang? Pengumuman dari tim gugus tugas covid-19  dengan 3 varian angka statistik (Angka terpapar Covid-19, Angka yang sembuh, serta angka yang meninggal), setiap hari bahkan terus dilakukan pemutakhiran data, dengan peningkatan yang tajam.

Ilustrasi himbauan jangan mudik (sumber gambar : https://megapolitan.kompas.com/)
Ilustrasi himbauan jangan mudik (sumber gambar : https://megapolitan.kompas.com/)
Kebiasaan versus Kesadaran Bersama

Tak mudah mengubah kebiasaan. Dan ritual mudik adalah kebiasaan itu. Namun, tak sepenuhnya, kesalahan ditimpakan pada pemudik, tah?

Ketika kebijakan yang diambil stakeholder terus mengalami revisi bahkan dalam jarak yang berdekatan, begitu juga keraguan demi keraguan yang ditunjukkkan hingga ke lapisan bawah, menjadi persoalan juga.

Di tataran pusat, revisi cuti bersama dengan menghapus tanggal 22 Mei 2020 sebagai bagian dari cuti bersama lebaran, oleh sebagian teman-temanku dianggap prank pemerintah. Termasuk perubahan "larangan mudik", menjadi "boleh mudik dengan syarat..."

Fenomena ini, menjadi pembicaraan hangat. Termasuk obrolan renyah di beberapa WAG yang kuikuti.

"Apa memang musim prank, Bang?"

"Bukan. Artinya Negara dalam kondisi darurat! Keputusan berubah sesuai kondisi terkini!"

"Jadi? Kita mau nurut yang mana?"

Aih, dalam konsep agama Islam yang kupahami, jika ada keraguan, segera tinggalkan! Namun dalam konsep manajemen, jika hadir keraguan, pemimpin mesti ambil keputusan.

"Kenapa masih banyak yang..."

"Dalam konsep keilmuan, ikuti yang benar! Kalau dalam rapat, ikuti suara terbanyak!"

"Tapi..."

"Udah. Ikuti logika dan kata hatimu aja!"

Tuh! Aku juga jadi susah menjelaskan. Namun, memang susah membentuk kesadaran bersama, kan?


Mungkinkah, Menyimpan Perasaan Ingin Mudik sebagai Celengan Rindu?

Namun, setidaknya aku dan keluarga besarku menerapkan larangan mudik itu. Sebagai lelaki tertua, kuumumka keputusan larangan mudik di grup keluarga besar.

Korbannya? 2 orang ponakan yang bekerja di Jakarta dan Tanggerang musti menunda pulang lebaran. Begitu juga adikku beserta 3 anaknya di Padang. Harus tega? Iya! Apalagi yang mesti dilakukan, jika tidak dimulai dari diri sendiri dan keluarga?

"Kami rindu balik Curup, Makdang!"

"Masukkan dulu dalam Celengan rindu!"

Begitulah. Atas nama perasaan bernama rindu. Terkadang juga hadirkan pilu, tah? Namun, kondisi saat ini, keputusan harus diambil. Seperti satu lirik lagu "Celengan Rindu" milik Fiersa Besari di bawah ini.

Hingga kejamnya waktu, menarik paksa kau dari pelukku

Lalu kita kembali, menabung rindu

Saling mengirim doa, sampai nanti sayangku

Paparapa...paparapa...papara papa papa pa...

Curup, 21.05.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun