Indonesia memiliki kekayaan tradisi yang luarbiasa. Hal itu, bisa bertujuan untuk menjalin silaturahmi, atau untuk memperingati suatu momentum. Akulturasi budaya dan ajaran agama mewarnai tradisi ini.
Semisal prosesi panjang dari lamaran hingga ke jenjang pesta pernikahan, proses kehamilan dengan acara nujuh bulan hingga saat kelahiran ada tradisi injak kaki pada acara aqiqah dan sunat rasul.
Kegiatan seperti itu kerap dijumpai, dan terus berlanjut hingga kegiatan haul untuk mengenang kepergiaan seseorang. Artinya, dari sejak lahir hingga meninggal, selalu ada momentum untuk dikenang dan diperingati.
Begitu juga tradisi yang ada menjelang Ramadan dan menyambut idul fitri. Yang nyaris dilakukan di semua daerah dengan nama dan istilah berbeda. Termasuk di kampungku. Aku tulis, ya?
Pertama. Nyekar.
Tradisi ini adalah melakukan kunjungan ke makam (kuburan) dari keluarga dan kerabat terdekat. Kegiatan ini, biasanya dengan membersihkan kuburan, Â ada yang membaca yaasin dan berdoa serta diakhiri dengan menaburkan bermacam bunga.
Berkunjung ke makam itu hal biasa, namun menjelang Ramadan dan idul fitri, kegiatan itu menjadi kolosal. Akan ada para penjual bunga, buku kecil berisi surat yaasin dan himpunan doa, bahkan ada yang menyediakan air dengan botol-botol kecil yang juga berisi aneka bunga, yang tak ditemukan pada hari biasa.
Kedua. Manjalang.
Tradisi ini berkunjung secara khusus sehari menjelang Ramadan, bertujuan untuk meminta maaf dan bersilaturahmi. Disertai dengan membawa makanan yang dimasak khusus juga. Menjalang ini, bahkan menjadi hal "wajib" bagi menantu, apatah lagi pengantin baru. (artikelnya pernah aku tulis Manjalang, Tradisi Ramadan yang pelan-pelan menghilang).
Manjalang menjelang Idul Fitri lain lagi. Tak hanya sebagai acara buka bersama dalam keluarga besar di rumah orangtua, ketika anak, menantu dan para cucu berkumpul bersama. Namun juga membawa kue-kue lebaran. Hal ini bertujuan, agar orangtua atau mertua, tak lagi disibukkan dengan membuatnya.
Kalau di keluarga besarku, anak dan menantu berembuk dulu. Berbagi tugas, jenis kue apa yang ingin di serahkan kepada orangtua. Agar jenis kuenya berbeda. Kalau gak ada? Tak masalah, namanya juga tradisi, tah? Tapi, biasanya akan terbentur pada pertanyaan, masa setahun sekali gak bisa? Iya, kan?
Dua tradisi di atas, masih dilakukan sebelum Ramadan atau saat idul fitri. Namun ada satu tradisi yang "sepi", dari kampungku sejak pandemi corona, yaitu sedekah ruwah atau ruwahan.
Tradisi Ruwahan (asal kata dari bahasa Arab ruh/roh/arwah) adalah tradisi yang dilakukan sebelum Ramadan. Umumnya dimulai sejak pertengahan bulan sya'ban (nisfu sya'ban) hingga sehari menjelang Ramadan.
Tujuan kegiatan ini, sesungguhnya untuk berkumpul seluruh anggota keluarga dan tetangga sekitar, kemudian melakukan doa bersama untuk orang-orang yang telah meninggal. Sebelum berdo'a, acara ini diisi dengan pembacaan surat yaasin dan tahlil (tahlilan), kemudian ditutup dengan doa bersama.
Kemudian menjadi sedekah ruwah, karena jamaknya, usai berdoa tuan rumah akan menyediakan makanan dan minuman, untuk dinikmati orang yang datang. Yang dimaknai sedekah. Hingga dikenal juga dengan sebutan sedekah ruwah.
Namun, ada juga tuan rumah yang hanya menyiapkan makanan kecil serta minuman, saat pulang para tetamu dibekali "besekan" yang berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya. Wadahnya bisa berbahan platik, atau dibuat dan dibentuk khusus dari daun pisang.
Terkadang ada "keseruan" dalam tradisi ini. Bisa saja, dalam sehari ada 3 undangan sedekah ruwah. Maka perangkat RT dan tetua kampung yang mengatur waktunya. Ada yang sudah ashar, sudah maghrib dan sudah isya.
Bagi anak kos, maraknya sedekah ruwah juga menjadi berkah tersendiri. Selain silaturahmi, juga menjadi ajang perbaikan gizi. Bayangkan saja, sehari dapat 3 besekan? Sempat kubaca satu artikel, di Bangka Belitung, malah disebut "Lebaran Ruwah"!
Namun, tradisi ruwah tahun ini "sepi", salah satunya karena pemerintah daerah melarang untuk kegiatan yang sifatnya keramaian.
Yang namanya kebiasaan, sudah untuk dihentikan, tah? Akhirnya, kegiatan sedekah ruwah dimodifikasi, tak lagi berkumpul dan berkunjung dari rumah ke rumah.
Kali ini, pemilik hajat yang berkunjung ke rumah tetangga mohon didoakan keluarga mereka sebagai kata pengantar. Kemudian meninggalkan "besekan" untuk rumah yang dikunjungi.
Begitulah 3 tradisi sebelum Ramadan juga sebelum idul fitri di kampungku. Esensinya tetap pada menjalin hubungan vertikal (kepada Tuhan), serta merawat hubungan horizontal dengan silaturahmi pada sesama.
Tak hanya tentang jalinan silaturahmi dengan keluarga dan orang terdekat, namun juga mengenang orang-orang yang telah tiada. Warisan tradisi yang menyajikan indahnya kebersamaan.
Demikianlah,
Selalu sehat. Namaste!
Curup, 18.05.2020
Zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H