Tagline "Jangan Mudik Dulu", "Jika Sayang Keluarga, Tunda Dulu mudik", dua di antara beberapa himbauan yang tersebar luas di media massa dan media sosial. Â Ajakan yang bertujuan 'pencegahan", terkadang dimaknai sebagai "larangan".
Bagi perantau, mudik atau pulang kampung merupakan ritual. Kegiatan itu bisa karena beberapa alasan atau momentum.
Pulang kampung karena ada pernikahan keluarga terdekat, atau karena ada anggota keluarga yang meninggal. Adalah alasan-alasan yang acapkali muncul ke permukaan. Hanya saja momentum mudik ini kasuistik.
Berbeda halnya dengan mudik lebaran yang satu tahun sekali. Siapa pun anak rantau, akan melakukan penjadualan waktu, pikiran, juga anggaran khusus agar bisa bertemu keluarga tercinta di kampung.
Apatah lagi mudik saat lebaran, tak hanya bermakna pertemuan secara fisik. Namun juga pelepasan kerinduan secara psikis.
Momen yang "Hilang" jika Tak Mudik
Bisa dibayangkan, pertemuan langka yang penuh haru dan urai air mata. Antara anak dan orangtua, menantu dan mertua, suami dan istri atau dengan tetangga dan sahabat yang lama tak bersua.
Tak hanya sekedar bertemu, bertukar salam dan bercengkerama. Momen ini juga untuk mendengar berita orang-orang yang telah tiada saat lagi di rantau, mendengar cerita terbaru tentang kampung halaman, atau kunjungan ke pemakaman orang-orang yang tercinta.
Hal itu juga, sebagai kesempatan untuk memuaskan kerinduan akan masakan khas kampung yang disajikan orangtua atau jajanan yang tak ditemukan selama di rantau. Atau mengulang dan mengenang tempat-tempat yang menimbun kenangan masa lalu. Iya, kan?
Juga, bukan rahasia lagi, terkadang kepulangan itu juga sebagai salah satu titik temu perjodohan atau malah acara perkawinan yang dirancang sejak jauh hari. Sehingga, alam bawah sadar setiap perantau mencatat suatu "keharusan" untuk mudik.
Namun, Pandemi corona juga mestinya membawa kesadaran, jika kisah-kisah di atas tak bisa dilakukan lagi, sebebas tahun-tahun sebelumnya. Logika berpikir yang lugas menjadi kunci, agar semua orang menjadi pemutus rantai penyebaran virus mematikan ini.
Namun, ini tentu saja pilihan pribadi dengan alasan-alasan personal, tah?
Nyaris semua orang rantau pernah melakukan cara-cara antisipatif dan solutif, ketika ternyata dihadapkan dengan situasi dan kondisi tak bisa mudik. Iya, tah?
Semisal ada keluarga yang meninggal? Atau jika ada anggota keluarga yang menikah? Atau sekedar rindu dengan keluarga di kampung? Tapi situasi dan kondisi "memaksa" tak bisa mudik itu dihadapi?
Hematku, di tengah hingar-bingar kengototan untuk mudik, pilihan melakukan mudik online juga tak mengurangi kesakralan ritual mudik saat lebaran. Hanya dimensi ruang dan waktu yang memang harus berbeda.
Melakukan mudik online adalah solusi tercepat dan menjadi pilihan yang tepat! Hanya saja istilah ini, bergaung sekarang. Padahal menurutku, sudah dilakukan sejak dulu.
3 Pilihan Cara "Kehadiran" Tanpa Mudik
Terus, bagaimana caranya melakukan mudik online? Ketika kondisi pertemuan langsung secara fisik, tak lagi bisa dilaksanakan?
Pertama. Lakukan Calling dan Chatting via Daring.
Ini adalah pilihan instan yang bisa segera dilakukan. Apatah lagi masa kini, video call juga sudah menjadi bagian dari media komunikasi banyak orang. Beberapa aplikasi, bahkan sudah menyediakan pertemuan dengan banyak anggota keluarga dalam satu waktu. Semisal zoom atau yang terbaru google meet!
Pertemuan langsung bisa diganti dengan percakapan langsung. Jika esensinya adalah menjalin silaturahmi, mudik virtual bisa menjadi pilihan. Dengan cara ini setidaknya bisa sedikit memuaskan keinginan itu. Ada 7 pilihan aplikasi yang bisa dicoba, sila ditonton pada video di atas (sumber : KOMPAS Tekno).
Kedua. Ingin Berbagi? Kirim mentahnya aja!
Ini ajakan logis dan bijak. Sila baca ungkapan di media sosial, jika tak bisa mudik, jangan paksa! Kirimkan saja anggaran ongkos mudik buat orang-orang di kampung. Semisal buat orangtua atau keluarga terdekat. Jejangan, manfaatnya malah lebih banyak?
Atau, jika masih belum puas, simpan dulu menjadi tabungan, sambil berharap wabah corona ini segera berakhir. Menunda tak berarti kegagalan, kan?
Ketiga. Terbiasa memberi kado lebaran? Gunakan jasa pengiriman!
Sesusah apa pun di rantau, jamak dilakukan oleh perantau untuk membeli dan membawa sesuatu untuk orang di kampung sebagai buah tangan atau oleh-oleh, kan? Terpaksa atau memang sudah disiapkan, itu urusan lain. Hanya, terkadang merasa sungkan pulang namun tak membawa buah tangan.
Jasa pengiriman online, bisa menjadi pilihan. Toh, member tanpa kehadiran, tak menghapus "keberadaan" seseorang, kan?
Mengubah kebiasaan, memang sukar. Apalagi jika sudah melibatkan perasaan. Seperti yang biasa dialami saat mudik atau pulang kampung bagi para perantau.
Namun, 3 cara tadi, bisa mengurai perasaan itu walau sementara dan tak bisa seutuhnya. Saat ini, harapan terbesar adalah, bagaimana pandemi ini segera berakhir.
Menahan diri dan menjadi salah satu pemutus rantai penyebaran wabah covid-19 dengan menekan ego, kukira salah satu pilihan bijak yang mesti diambil.
Demikianlah.
Tunda mudik, jika sayang keluarga.
Selalu sehat buat semua. Namastee!
Curup, 16.05.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H