Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Salah, Keliru dan Mengeluh Sudah Menjadi "Gaya Hidup"?

14 Mei 2020   23:18 Diperbarui: 15 Mei 2020   00:36 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bang aku udah nulis. Tapi banyak typo!"

"Oh! Hajar aja. Aku juga sering typo!"

"Tapi..."

"Typo itu tanda kita menulis. Jadi aneh kalau typo saat bernyanyi!"

Ini adalah percakapanku di sebuah WAG Menulis. Typo atau saltik (salah ketik) acapkali menjadi duri saat menulis. Karena kelebihan atau kekurangan huruf, atau malah salah menggunakan huruf. Sehingga ada yang menganggap, jika saltik itu aib. Hiks...

Terkadang, bisa dimaklumi anggapan itu. Adakalanya, saltik yang dilakukan bisa mengubah makna. Semisal mau menulis kata "budaya". Karena kurang huruf "d", akhirnya yang tertulis "buaya".

Coba bayangkan, jika pada judul tulisan "Musik Angklung, Budaya Asli Indonesia." Malah ditulis "Musik Angklung, Buaya Asli Indonesia." Parah, kan?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Apakah Tak Boleh Salah?

Jika ditanya padaku? Saltik itu terjadi, karena kita menulis. Kalau tak pernah menulis atau hanya membaca, tak akan pernah saltik. Sama seperti nasehat ahli hikmah saat aku kecil dulu, "Gak keren pandai bersepeda, jika tak pernah merasakan jatuh dari sepeda!" Tuh, kan?

Namun seiring waktu serta pengalaman, tentu saja saltik itu bisa diminimalisir, tah? Sama seperti, rasa malu jika sudah tua masih jatuh dari sepeda! Padahal Jatuh dari sepeda bukan hanya "hak" di masa kecil.

Pasti banyak alasan serta kemungkinan yang bisa diajukan, menjadi penyebab jatuh dari sepeda, walau usia beranjak tua. Terus, bagaimana dengan kesalahan di luar menulis?

Gegara urusan salah ini, aku jadi ingat buku Irfan Amalee yang dihadiahkan seorang teman dari Bandung. Judulnya "Boleh Dogn Salah". Judul bukunya saja posisi huruf "n" dan "g" sengaja ditulis salah. Aku tulis seingatku saja, ya?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Jangan Takut Salah! Tapi...

Mens sana in corpora sano, "di dalam tubuh yang sehat, hadir jiwa yang sehat". Ungkapan ini kukira lebih tua dari umurku. Sejak SD pun, pakem ini sudah ditanamkan di kepalaku. untuk membuktikan itu, masa Orde Baru, malah ada istilah "memasyarakatkan olahraga, dan mengolahragakan masyarakat".

Namun ungkapan ini menurut Jaya Suprana keliru. Alasan sederhana yang dikemukanan, "Lihat saja orang-orang yang sakit jiwa, banyak di antara mereka bertubuh sehat. Sebaliknya, para pelaku kriminal tubuhnya sehat, tapi jiwanya sakit!"

Jaya Suprana, yang multi talenta uga inisiator Museum Rekor Indonesia (MURI), malah melahirkan disiplin ilmu "kelirumologi". Bahan kajiannya adalah kekeliruan yang seringkali dilakukan manusia. Tanpa disadari merasa superioritas, padahal terjebak pada kekeliruan.

Jika suka membaca kisah humor atau majalah humor yang juga di inisiasi Bos Jamu Jago ini, akan dekat dengan "plesetan" yang sekarang dianggap "ngeyelan". Misal peribahasa "malu bertanya sesat di jalan".

Setidaknya ada dua varian baru yang disajikan dari peribahasa itu. Seperti "malu bertanya, jalan-jalan" atau "malu bertanya, jangan bertanya!" Alasannya? Lah, kan malu?

Kekeliruan dan kesalahan, adalah persoalan cara pandang. Dalam bahasa kerennya paradigma. Cara pandang menjadi pusat semesta dari kekeliruan dan kesalahan. Karena cara pandang, yang melahirkan perbedaan.

Misal, perdebatan para ahli tentang matahari yang melahirkan banyak teori. Yang kuingat Aristoteles yang menyatakan Matahari mengelilingi bumi, atau Copernicus yang menyatakan bumi yang mengelilingi matahari. Padahal yang dibahas, matahari yang sama, tah?

Permasalahannya adalah, cara pandang itu dilontarkan berdasarkan apa? Uneg-uneg semata agar tampak berbeda, atau berbasis keilmuan yang didukung dengan kerangka berfikir yang etis, logis dan sistematis?

Irfan Amalee membuat ungkapan yang renyah buat dikunyah, "salah paradigma, bisa membuat semua langkah dalam hidup ikutan salah". Jika salah di hulu, maka bakalan salah terus hingga ke hilir.

Dicontohkan kisah Colombus. Karena perdebatan dunia ini bulat atau datar. Dengan dukungan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol. Untuk membuktikan itu, karena Asia berada di timur. Maka Colombus berlayar menuju Cina dan India melalui jalur barat pada Agustus 1492

Pada Oktober 1492, setelah berlayar 2 bulan. Colombus menyatakan sudah sampai di India Timur. Mereka bertemu penduduk asli pulau tersebut, Colombus menyebut mereka sebagai "Indian" artinya penduduk India.

Fakta sejarahnya, Colombus salah sangka. Ternyata Colombus tak pernah sampai ke Asia atau India. Dia mendarat di kepulauan Bahamas di benua Amerika.

Orang sedunia juga salah sangka, dikira Colombus penemu benua Amerika. Padahal ada pelaut bernama Americus Vespicius yang berhasil pertama kali menginjak benua ini, hingga Benua Amerika diabadikan dari namanya.

Lain lagi menurut Stephen Covey, penulis buku the 7 habbits of higly effective People mengugkapkan, "paradigma itu mirip peta". Anggaplah mau mencari sebuah alamat di Jakarta, tapi menggunakan peta kota Surabaya. Sampai lebaran kucing, bakal tak ketemu, kan?

Susahnya, jika keliru cara pandang, akan beresiko besar juga. Karena keliru cara pandang bisa menjadi sebab keliru dalam bersikap. Keliru bersikap, ujungnya akan keliru berperilaku.

"Jika menganggap dirimu palu, artinya kamu menganggap orang lain paku."

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Mengintip Perbedaan Cara Pandang Era Millennial?

Ini fenomena yang kutangkap saat ini. Dulu, bila terjadi perbedaan cara pandang, maka akan melakukan sesuatu untuk  mencari kebenaran agar tak lagi terjebak dalam kekeliruan. Saat ini, di era digital dan serba millenial, acapkali ungkapan perbedaaan cara pandang diajukan dengan mengeluh!

Jika dulu, mengeluh itu hanya untuk kaum pinggiran, sekarang semua kalangan pun bebas melakukan keluhan. Mulai dari akar rumput hingga di puncak tertinggi kekuasaan. Mengeluh, pelan-pelan sudah menjadi gaya hidup!

Jika menyigi KBBI, Mengeluh itu menyatakan kesusahan karena penderitaan, kesakitan atau kekecewan. Kata dasarnya keluh yang bermakna ungkapan yang keluar karena perasaan susah. Biasanya dibungkus juga dengan balutan kata "curhat". Ahaay...

Menurutku, tak masalah jika melakukan kesalahan atau kekeliruan kemudian mengeluh. Apalagi semisal salah ketik dalam menulis. Hayuk aja! Karena proses awal keberadaan manusia di dunia juga berdasarkan kesalahan dan keluhan, tah?

"keluhan" Adam karena merasa kesepian, maka terciptalah Hawa. "Kesalahan" Adam dan Hawa, menjadi sebab keberadaan manusia di dunia. Jadi, tak adil juga menolak adanya kesalahan, kekeliruan dan keluhan. Kan?

Tinggal lagi, mencari jawaban. "Seberapa lama kita betah dan bertahan dengan kesalahan, kekeliruan dan keluhan itu?"

Aih, ternyata udah panjang! Demikianlah. Selalu sehat, ya? Namastee

Curup, 14.05.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun