Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Menghargai "Kelucuan" Anak Negeri

12 Mei 2020   05:42 Diperbarui: 12 Mei 2020   06:18 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrated by pixabay.com

Tak bermaksud membahas puisi Taufik Ismal. Hanya saja, versiku, kritikan sosial yang diajukan netizen, "kurang cantik" dibandingkan barisan kata-kata pedas yang terpahat dalam puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Dengan bahasa kampung, kusebut sebagai "tukang stempel".

illustrated by pixabay.com
illustrated by pixabay.com
4 Rancang Bangunan Kritik Sosial

Jika meminjam konsep kritik sastra, dengan alasan media sosial adalah budaya tulis. Maka setidaknya ada 4 Alur kritik sosial yang terbangun. Aku tulis saja, ya?

Pertama. Kritik sebagai Cermin Kehidupan.

Lontaran kritik diajukan berdasarkan dari hal yang dirasakan atau dialami oleh pemilik kriitikan. Mungkin saja ojek online yang sepi penumpang, pedagang takjil yang sepi pembeli atau pengusaha yang keberatan mesti memberikan THR, padahal situasi saat ini, curva pendapatannya melandai, jika malu mengakui ada penurunan.

Sah? Lah iya! Kan mereka merasakan langsung. Bakalan rada susah, ketika itu terlontar di media sosial. Cerminan kehidupan pribadi itu menjadi cerminan orang banyak. Penderitaan diri sendiri,menjadi penderitaan bersama. Siapa yang salah? Tak ada! Wong dunia maya tanpa batas, jadi "bola liar" kritik itu bisa melintas secara bebas.

Kedua. Kritik sebagai Ekspresi dari Pikiran, Perasaan dan Pengalaman.

Dalam hal itu, kritikan tak harus dialami atau dirasakan langsung oleh pemilik kritik. Mungkin saja kritikan itu bersandarkan dari bidang keilmuan yang dimiliki. Semisal keriuhan pemaknaan ulang dari "Mudik" dan "Pulang Kampung". Atau perbedaan dan persamaan antara "dilarung" dengan "dibuang ke laut"?

Ketiga. Kritik dengan Pendekatan Objektivitas.

Kritikan yang dilontarkan, lebih mendahulukan nilai-nilai objektifitas pemberi kritik. Semisal, semasa pemilu berada di kubu A, jika kemudian ternyata ada kebijakan non pupulis yang diambil. Ia bisa saja berseberangan. Tak peduli anggapan plinplan dan sebagainya.

Pertanyaannya, akan terbentur pada nilai objektivitas versi siapa? Sila simak di berbagai media cetak maupun elektronik. Semua berargumentasi dengan pengakuan objektif tanpa keberpihakan. Menurut siapa? Tentu saja versi masing-masing, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun