Mencarimu. Seperti merelakan helaan nafasku. Lepas bebas tak berbatas di antara laju waktu yang terus melintas. Hingga mampu menipu iringan sepi jejak langkah para pendosa yang merengkuh bisu, dan meringkuk erat benalu malu.
Atau hanya ruang sempit yang teramat sulit sekedar menikmati sekilas senja? Sebagai penanda pesan terakhir mentari, jika lalu hari berganti dan tak akan pernah terganti.
Aku tak pernah membayangkan, jika ketiadaan adalah cara menjelaskan keberadaan. Tak pernah selugas hitam di antara putih, atau sekelumit kisah manis di antara barisan cerita yang berselimut kata pahit.
"Bacalah!"
Kau masih tersembunyi sebelum sempat inginku mencari. Hanya gema sunyi tak berbunyi, tanpa henti menyusup hening di sanubari yang terbiar kering.
***
Sekali waktu aku pernah mencarimu. Ketika kurasakan berlapis-lapis langit bersekutu memaku bahuku. Tapi tak kutemukan tangan-tangan yang mampu menarikku dari pusaran kejenuhan sembilu. Hanya lontaran tanya yang mampu kuujarkan, kenapa harus aku?
Kembali. Lagi, dan lagi. Aku harus merelakan keluhku bersimpuh di bilik bisu. Menghempaskan amarah sesuka inginku, memaksa hati merajam perih yang menikam dengan diam yang dibungkam.
"Percayalah!"
Kau menitip kata dengan tanda-tanda. Seperti butir-butir hujan yang menyapa rerumputan gersang di tanah kerontang. Berkumpul pada hulu sungai-sungai di kaki perbukitan dan pergunungan untuk menelusuri jejak-jejak pandahulu.
Seketika luluhlantak! Pepohonan yang bertumbangan, mengubah petak-petak tanah pertanian dan perkebunan, menghanyutkan rumah-rumah perlindungan. Pasrah mengikuti arus perjalanan butiran hujan. Bersatu dalam makna binasa. Juga airmata.