Apa momen tersulit di bulan Ramadan ini? Aku akan menjawab lugas, ketika harus "menerima kenyataan", menjalankan ibadah Ramadan di tengah wabah pandemi covid19.
Mungkin saja ini dirasakan oleh banyak orang. Bagiku, Ramadan adalah momen sekali setahun yang selalu ditunggu, jika dianggap lebay jika menggunakan kata rindu.
Momen Ramadan yang "Hilang"
Menyaksikan semarak kegiatan ibadah di masjid, musholla juga surau-surau. Orang-orang, mulai dari anak kecil hingga berusia tua berlomba meramaikan. Yang bisa saja tak ditemukan pada bulan-bulan biasa.
Atau anak-anak yang sibuk di sekolah dengan berbagai kegiatan di saat Ramadan. Buka puasa bersama, adaknya pesantren kilat hingga mengadakan berbagai tangkai lomba bernuansa islami.
Para pedagang takjil yang berlomba menawarkan beraneka masakan yang menggoda selera, terkadang ada beberapa jenis makanan yang tak akan kita temukan selain dari bulai Ramadan.
Para ayah yang semangatnya berlipat ganda, musti berfikir untuk memenuhi kebutuhan keluarga di saat Ramadan hingga momen lebaran yang biasanya meningkat dan melonjak drastis.
Atau para ibu yang sejak jauh hari memiikirkan pakaian lebaran buat anak-anaknya. Serta sepuluh hari terakhir Ramadan mulai sibuk di dapur, berkreasi dengan resep-resep warisan atau resep eksperimen yang di dapat dari teman.
Masih adakah? Tak lagi ada bunyi-bunyian heboh yang dilakukan anak muda menjelang sahur, atau bebas menghabiskan waktu menikmati beragam kegiatan ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa.
Aih, kukira masih banyak kegiatan-kegiatan yang biasanya rutin ditemukan di saat Ramadan, namun saat ini tak lagi bisa ditemukan atau dilakukan.
Masjid, surau dan musholla menjadi sepi. Jika pun masih ada jamaah yang rutin hadir, namun tak akan semeriah seperti momen-momen Ramadan tahun sebelumnya.
Anak-anak terpaksa menahan kerinduan beraktifitas di sekolah. Diam di rumah menjadi pilihan yang bukan pilihan, namun harus dilakukan. Menjalankan ibadah puasa, tapi tak lagi menemukan "letupan-letupan" yang akan mereka kenang di saat dewasa. Kecuali berpuasa di saat corona.
Para pedagang pakaian dan pedagang takjil, dipaksa berfikir keras agar dagangan mereka bisa dibeli. Beberapa pilihan dilakukan, mulai dari online hingga menyediakan jasa antar ke rumah.
Belum lagi para orangtua. Tak hanya mesti memenuhi kebutuhan keluarga dan harus beradaptasi dengan kondisi saat ini di tempat kerja. Namun konsentrasi juga terpecah, dengan kecemasan dan kekhawatiran akan kesehatan dan keselamatan diri dan keluarga tercinta.
Aih, sila bercerita atau berkunjung dengan teman-teman pedagang, petani atau penyedia barang dan jasa yang lain. Sekuat apapun mereka "memaksa diri" menerima kenyataan pada kondisi saat ini, keluhan dan keresahan akan selalu hadir.
Namun, kurasakan terkadang miris! Ketika orang-orang di pusat pemerintahan "berjibaku" berfikir kebijakan yang bisa menenangkan sekaligus memenangkan perang melawan pandemi ini. Masih saja ada yang menggugat dan mengganggu upaya "perlindungan sosial" itu.
Juga tenaga medis di rumah sakit atau pusat penanganan virus corona. Kukira, tak lagi berbincang itu adalah tugas dan kewajiban semata. Namun menjadi keharusan yang tak bisa ditawar dengan mengorbankan tenaga juga nyawa!
Susahnya, ada pilihan sajian berita di beberapa media massa bahkan tak "menolong"! Masih saja kutemukan beragam informasi yang menebarkan rasa takut, alih-alih menyajikan konten bernada optimis dan membakitkan semangat.
Akupun tak lagi bisa berkomentar, saat membaca kisah viral seorang bapak yang menawarkan ginjalnya secara online. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, karena tak lagi bisa bekerja mencari nafkah seperti biasa.
Pada beberapa berita di situs online, aku sempat membaca ada orang-orang yang nekad mengakhiri hidupnya, karena tak kuat menahan tekanan kehidupan saat ini.
Di luar sana! Kukira, masih banyak cerita-cerita yang lebih pahit dan lebih sulit dari yang mampu kutulis saat ini. namun, juga banyak kisah-kisah heroik mereka berjuang dan bertahan. Dan percaya, badai pandemi ini pasti berakhir.
Bagiku, terasa sulit menerima kenyataan dan menjalankan situasi ini. Namun harus menjawab dengan kalimat "aku baik-baik saja".
Tapi, seperti meminum obat. Walaupun pahit, namun kondisi ini harus direguk dan dinikmati, kan?
Demikian curhatku. Semoga kita semuua tetap baik-baik saja.
Banyak maaf, tetaplah sehat. Namaste!
Curup, 05.05.2020
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H