Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Hari Puisi Nasional, Biarkan Tubuh-tubuh Puisi Tetap Sunyi

28 April 2020   21:54 Diperbarui: 29 April 2020   01:02 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hari Puisi Nasional 28 April 2020, Sekaligus Mengenang Chairil Anwar (sumber gambar : www.kompas.com/)

Izinkan aku menulis barisan kata-kata mati, untuk merayakan tanggal 28 April ini, yang ditetapkan sebagai hari puisi nasional yang sepi.

Sebagai awalan, aku tak memiliki ijazah, sertifikat atau deretan penghargaan, tetapi bentuk pengakuan diri jika tulisan ini, jauh dari kapasitas seorang pemuisi, penyair atau pujangga. Aku penyuka puisi.

Saat sekolah dasar dan SMP, aku dikenalkan puisi oleh guru-guru Bahasa Indonesia. Saat itu, aku mengenal dan bersentuhan dengan karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Asrul Sani, Sanusi Pane, Taufik Ismail juga Sutardji Chalzoum Bachri.

Hingga duduk di SMA. Melalui pelajaran Bahasa dan Sastra, beberapa nama bertambah. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Najib, Gus Tf Sakai, Jose Rizal Manua hingga Afrizal Malna.

Itu pun bukan karena memiliki buku-buku para penyair tersebut. Tapi karena acapkali diminta untuk ikut berbagai lomba. Semisal momen Hari Kemerdekaan, Hari Pahlawan, Peringatan Bulan Bahasa hingga ajang Perayaan Hari Besar Islam dengan puisi islami.

Hari Puisi Nasional 28 April 2020, Sekaligus Mengenang Chairil Anwar (sumber gambar : www.kompas.com/)
Hari Puisi Nasional 28 April 2020, Sekaligus Mengenang Chairil Anwar (sumber gambar : www.kompas.com/)
Jalan Sunyi Memaknai Puisi

Sebagai orang kampung dengan keterbatasan literasi, serta tersudut dengan kemajuan teknologi. Ingatanku akhirnya terperangkap pada pusaran nama-nama yang sebagian kutulis di atas.

Akupun dilanda "kebosanan", ketika diajari cara menjiwai, mendalami dan menghayati puisi oleh guru pendamping saat ikuti lomba.

Harus berteriak hingga suara serak, memaksa mimik wajah sedih dan lebih bagus jika berurai airmata. Atau melakukan gerakan bersimpuh saat mempraktekkan kata "bersujud", hingga kedua lututku sempat membiru.

Totalitas tanpa arah! Agar bisa menarik dan menipu perhatian dewan juri. Tapi, aku tak bisa memaknai dan menyelami karya mereka dengan caraku sendiri. Aku tak bisa menikmati kebebasan dan keleluasaan "memperkosa" makna puisi itu.

Semasa kuliah, dengan perpustakaan kampus yang menyediakan banyak pilihan. Barulah aku menikmati karya mereka. Kebebasan berekspresi semasa menjadi mahasiswa, bergaul dengan para "seniman terlantar" level kampus, akhirnya menyeretku pada "arus suka-suka" untuk meluluhlantakkan tubuh-tubuh puisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun