Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tentang Rindu

26 April 2020   22:36 Diperbarui: 27 April 2020   03:27 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia tiba-tiba muncul di depan pintu. Tubuh jangkung, dengan garis wajah yang keras. Matanya menatapku tak berkedip, tak ada senyuman di bibirnya. Tangan kanannya menggenggam erat pergelangan tangan seorang anak kecil, yang berdiri kaku menekuri lantai. Aku sangat mengenal wajah anak kecil itu.

"Mas, bangun!"

Sayup, suara Lastri terdengar. Aku tersentak, perlahan mencoba bangkit dari tempat tidur. Lastri menatapku.

"Mimpi lagi?"

***

"Bisa bantu buat layangan, Yah?"

Wajah Azzam menyapaku di pintu kamar. Tangannya memegang sebilah bambu. Langkah ragu bocah kelas tiga SD itu perlahan menghampiriku.

"Bilang Bunda, Ayah..."

"Udah sore. Juga gerimis, Nak! Kalau mau main layangan..."

"Tugas sekolah, Yah! Difoto, terus divideokan!"

"Oh!"

Dalam satu minggu ini, sudah tiga kali, Azzam melibatkanku untuk menyelesaikan tugas sekolah. Membuat pot bunga dari botol air mineral, dan dua hari lalu, membuat maket rumah dari kotak susu.

"Kertasnya gak ada, Yah! Mau beli, tapi..."

"Minta koran sama Bunda. Juga benang dan lem kertas!"

"Siap, Komandan!"

Tubuh kecil itu segera lenyap di balik pintu kamar. Kupandangi sebilah bambu yang tergeletak di atas meja. Ingatanku kembali, pada kenangan puluhan tahun lalu. Sebilah bambu itu, bisa menjadi tiga atau empat buah layangan.

"Pakai koran, Mas?"

Lastri hadir di pintu kamar. Di belakangnya Azzam berdiri, dengan wajah cemberut. Aku tersenyum sambil anggukkan kepala. Sekilas kulihat wajah Azzam kembali berseri.

"Tapi nanti, nilai Azzam..."

"Gurunya pasti mengerti!"

***

"Badannya panas, Mas!"

Lastri duduk di tempat tidur. Kuhentikan jemariku dari keyboard. Menatap wajahnya masih menyimpan kecemasan. Matanya mengarah pada dua jari tangan kiri Azzam yang dibalut perban.

"Lukanya kecil, kan?"

"Coba kalau Mas aja tadi, yang..."

Kalimat Lastri terhenti. Aku mengerti, Lastri akan ungkapkan kekesalan hatinya. Sore tadi, kubiarkan Azzam meraut sendiri bilah bambu sebagai kerangka layangan. Hasilnya, masing-masing dua jahitan pada kedua jarinya.

"Dengar. Saat seumuran Azzam. Mas udah bisa cari uang jajan!"

"Iya. Tapi Azzam, kan..."

"Beda? Azzam lebih beruntung. Masih ada aku!"

Bagi beberapa orang, airmata adalah pertahanan terakhir. Dan itu kusaksikan dari kedua mata Lastri.

"Mas jangan lupa minum obat, ya?"

Tak lagi ada pembicaraan malam itu. Kubiarkan Lastri tidur dengan memeluk Azzam.

***

"Ayah, minum obat, ya?"

Tangan kanan Azzam menggenggam segelas air putih. Tangan kirinya memegang sekantong obat. Sejak taman kanak-kanak, Azzam telah terbiasa melakukan itu. Tubuh kecil itu duduk di sisiku. Matanya menatap wajahku.

"Luka Azzam udah sembuh. Kemarin, bilang Ayah, kalau mau sehat, harus minum obat. Tapi Ayah..."

Melihat kedua tangan Azzam masih tergantung di udara. Tak lagi bicara, kuraih gelas beserta obat dari tangannya. Kulakukan yang diminta. Azzam tertawa kecil, sekilas memeluk leherku, dan segera berlari keluar dari kamar tidur.

Tak lama, Lastri muncul dari balik pintu kamar. Wajahnya tersenyum. Lastri tahu kelemahanku. Susah minum obat. Tapi, itu tak berlaku jika Azzam yang meminta.

"Azzam cocok jadi dokter, kan?"

"Gak mau, Bunda! Azzam mau seperti Ayah!"

Tiba-tiba Azzam muncul dari pintu. Segera memeluk Lastri dari belakang. Wajahnya menatapku.

"Tapi, gak mau sakit-sakitan terus seperti Ayah!"

"Ayah sudah sehat, Nak!"

"Bilang Bunda, Ayah harus rajin minum obat. Biar gak seperti kakek!"

Azzam kembali berlari keluar kamar. Wajahku menatap Lastri, yang memalingkan wajahnya ke arah jendela kamar. Perlahan, wajah itu tertunduk. Kusaksikan getaran kecil di bahunya. Aku bangkit dari tidurku. Kuusap pelan rambut legam Lastri.

"Maafkan Mas, ya?"

***

Lelaki jangkung itu kembali muncul di depan pintu. garis wajahnya tak berubah. Masih keras. Namun kali ini ada senyuman di bibirnya. Tangan kanannya memeluk bahu seorang lelaki. Aku sangat mengenal wajah lelaki.

"Ayah! Bangun!"

"Mas..."

Aku mendengar teriakan Azam. Juga tangisan Lastri. Kamar tidur itu sudah dipenuhi orang-orang yang sejak tadi tak henti, silih berganti berdatangan. Mengelilingi tempat tidur. Menatap hampa tubuh yang terbujur kaku. Tubuhku.


Curup, 26.04.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun