Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Gadis Pantai, Cara Pram Menyigi Sosok Kartini dalam "Balutan" Sastra

21 April 2020   13:46 Diperbarui: 21 April 2020   13:59 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayu Utami, Penulis perempuan dan Aktivis Jurnalis. karyanya, Novel Saman dianggap sebagai warna baru dalam sastra Indonesia (sumber gambar : https://www.naviri.org/)

"Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi. Ah, tidak. Aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan. " -- Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer.

Empat belas tahun umurnya. Tubuh mungil, mata sipit dan kulit kuning langsat. Bunga kampung nelayan di pesisir pantai keresidenan Jepara Rembang. Dia dikenal dengan sebutan "gadis pantai".

Hari itu, Gadis Pantai harus meninggalkan dapurnya, suasana kampungnya serta bau amis abadi dari isi laut. Tanah airnya. Tapi kini, dia bukan lagi anak bapaknya. Bukan juga anak emaknya.

Sejak kemarin malam, dia telah dinikahkan dengan sebilah keris. Dia kini telah menjadi istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernal dilihatnya seumur hidup. Seorang priyayi rembang.

Paragraf pertama, adalah kutipan pengantar dari Penerbit Lentera Dipantara. Tiga paragraf berikutnya, kukutip dari Paragraf pembuka Bagian Pertama roman Gadis Pantai, karya Pramoedya Ananta Toer (Pram). Diterbitkan pertama kali tahun 1962.

Buku ini telah diterbitkan oleh 18 penerbit dengan Negara dan bahasa berbeda. Di antaranya Belanda, Rusia, Jerman, Malaysia, Inggris, Spanyol, Polandia, Portugal Dan Yunani. Buku yang kumiliki, adalah cetakan ke 13, pada april tahun 2018. Dahsyat, tah?

Tak bermaksud meresensi, aku mencoba merefleksikan sisi lain dari Peringatan Hari Kartini dan makna emansipasi wanita pada "balutan" sastra seorang Pram, berpijak dari Buku Gadis Pantai.

Roman Gadis Pantai. diterbitkan oleh 18 penerbit dengan berbagai bahasa. (sumber gambar : https://lazionebudy.wordpress.com/)
Roman Gadis Pantai. diterbitkan oleh 18 penerbit dengan berbagai bahasa. (sumber gambar : https://lazionebudy.wordpress.com/)
Gadis Pantai, Cara Pram Menyigi Sosok Kartini dalam "Balutan" Sastra.

Jika suka dengan karya-karya Pram. Kita akan menikmati "kenyinyiran" sang penulis, dalam merefleksikan keganasan kuasa, kepicikan berfikir dan kekerdilan tradisi aksara. Walaupun nyaris separuh hidup Pram dihabiskan di penjara.

Dalam Gadis Pantai, Pram mengangkat kontradiktif feodalisme Jawa, yang membahas tentang adab dan jiwa kemanusiaan. Roman ini dianggap menusuk feodalisme Jawa tepat langsung di jantungnya yang paling dalam.

Gadis pantai, berasal dari kalangan biasa. Tak bisa menulis dan membaca karena tak pernah sekolah. Menikah dengan sebilah keris, tunduk kepada pilihan orangtua untuk menaikkan derajat orangtua di kampung nelayan.

Tak mungkin menjadi istri utama Priyayi karena tak berdarah biru. Walau diberi fasilitas mewah, lebih cenderung dianggap "budak seks". Setelah melahirkan seorang anak perempuan, tanpa sempat menyusui sang anak musti ditinggalkan. Dia diusir dengan sejumlah pesangon cerai.

Saat dijemput ayah untuk pulang ke kampung nelayan. Gadis pantai menolak. Hanya meminta ongkos untuk ke Blora, dia menyerahkan seluruh pesangon cerai kepada sang ayah.

"Bapak pulanglah sendiri ke kampung. Belilah perahu besar model baru buatan Lasem. Dia akan menggantikan aku sebagai anak bapak. Mintakan maafku pada emak, saudara dan semua tetangga. Anggaplah anak bapak tiada lagi. Perahu buatan lasem bakal menjadi anak bapak yang paling ceria." (Gadis Pantai, hal. 270).

Keluarga RA Kartini. (sumber gambar : https://regional.kompas.com/)
Keluarga RA Kartini. (sumber gambar : https://regional.kompas.com/)
4 Alasanku, Pram Menentang dan Menantang Kisah Kartini

Menurut kiramologiku, buku ini adalah "cara" Pram menunjukkan kondisi, perjuangan, perlawanan sekaligus pengorbanan seorang perempuan.

Mungkin saja, kisah ini "menentang sekaligus menantang" dengan kacamata dan makna emansipasi "yang berbeda" dari kisah perjuangan Kartini yang disepakati anak bangsa sebagai figur emansipasi wanita.

Kenapa kuambil kesimpulan begitu? Ada 4 alasan yang bisa kutuliskan.

Pertama. Garis Keturunan. Kartini adalah perempuan berdarah biru. Ayahnya adalah Bupati jepara yang menggantikan sang kakek. Berbeda dengan gadis Pantai yang berasal dari kampung nelayan (kalangan biasa). Kondisikehidupan dan psikologis yang terbentuk pasti berbeda.

Kedua. Pendidikan dan keterampilan. Karena berdarah biru, Kartini kecil memiliki ruang bersekolah di ELS IEuropese Lagere School). Tentu saja bisa membaca dan menulis serta menguasai bahasa Belanda. Yang kemudian menjadi "alat perjuangan" dalam surat-suratnya. Gadis Pantai baru belajar membatik sambil menunggu "kunjungan" sang priyayi.

Ketiga. Usia saat menikah dan posisi tawar. Kartini menikah sebagai istri keempat dengan Bupati Rembang pada usia 24 tahun. Asal-usul dan pendidikan, menjadikan kartini memiliki "posisi tawar"  yang lebih tinggi dari gadis pantai yang menikah pada usia 14 tahu, kan?

Keempat. Akhir kisah. Kartini meninggal di usia 25 tahun, beberapa hari setelah melahirkan anak pertama dan satu-satunya. Gadis pantai? Terusir dan kembali melakukan pengorbanan jiwa raga kepada orangtua, agar pesangon cerai dibelikan perahu besar.

4 perbedaan ini, kukira cara Pram menyigi lebih dalam kisah-kisah heroik perempuan khususnya di jawa pada masa lalu. Walaupun berbalut karya sastra, namun tak menutup kemungkinan Pram mengungkap fakta dengan caranya, kan?

Ayu Utami, Penulis perempuan dan Aktivis Jurnalis. karyanya, Novel Saman dianggap sebagai warna baru dalam sastra Indonesia (sumber gambar : https://www.naviri.org/)
Ayu Utami, Penulis perempuan dan Aktivis Jurnalis. karyanya, Novel Saman dianggap sebagai warna baru dalam sastra Indonesia (sumber gambar : https://www.naviri.org/)
Sastra sebagai Simbol "perlawanan" Perempuan.

Maafkanlah, aku "kekurangan gizi" karya sastra sebagai alat perjuangan perempuan sepekat sastra klasik yang mungkin saja menjadi perkamen using di perpustakaan sepi anak negeri.

Novel Siti Nurbaya : Kasih Tak Sampai, karya Marah Rusli (rilis awal tahun 1922). Bagaimana seorang perempuan mengorbankan raga juga cinta, demi melunasi hutang orangtua pada seorang tokoh adat bernama Datuk Maringgih.

Atau Salah Asuhan karya Abdoel Moeis (terbit pertama tahun 1928. Sosok Hanafi yang berpendidikan barat, jatuh cinta pada Corrie, gadis keturunan Belanda. Namun karena perbedaan bangsa, Hanafi dinikahkan dengan Rapiah, wanita pilihan Ibunya.

Rapiah menjadi istri yang tak dicintai tanpa perlawanan. Ketika digigit anjing gila, Hanafi musti dirawat di Betawi (Jakarta). Saat itu Hanafi kembali bertemu Corrie, mereka menikah. Rapiah diceraikan dengan sepucuk surat. Akhir cerita? Aih, bakal panjang. Sila dibaca bukunya ya? Hihi...

Dua kisah di atas memuat pertempuran antara tradisi, pengorbanan dan cinta. Objek yang menarik untuk sebuah tulisan. Dan, fenomena itu bukan fiksi semata, kan? Kukira, begitu juga dengan latar belakang Pram saat menulis roman Gadis Pantai.   

Seorang kritikus sastra dari Amerika pernah menuliskan, jika ada orang Asia yang layak dapat Nobel Sastra, dia adalah Pram!

Ilustrasi sosok perawat perempuan melawan corona. Tak ingin dianggap pahlawan, mereka kelelahan! (sumber gambar : https://today.line.me/)
Ilustrasi sosok perawat perempuan melawan corona. Tak ingin dianggap pahlawan, mereka kelelahan! (sumber gambar : https://today.line.me/)
Jadi?

Terlepas dari Kartini sebagai sosok pemicu emansipasi wanita. Atau sebagai simbol perjuangan dan pengorbanan perempuan dengan julukan Kartini masa kini.

Aku menyakini, masih banyak perempuan-perempuan luar biasa yang masih tenggelam dalam "kegelapan" kehidupan pelik anak bangsa. Mungkin saja kisah Kartini, atau Gadis Pantai, Siti Nurbaya juga sosok Rapiah dalam karya sastra, belum seujung kuku derita mereka!

Terkadang, kita tak butuh simbol untuk memaknai dan memahami, apa yang terjadi, kan? Sebagaimana menghargai dan menghormati sosok perempuan! Asal semua manusia di dunia dilahirkan, dan itu tanpa bantahan.

Demikianlah. Hormatku dan Tahniah buat semu perempuan.

Semoga selalu sehat. Namastee!

Curup, 21.04.2020

Zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

Catatan: Terima kasih buat Mbak Leya Cattleya. Sudah memberikan hadiah buku gadis pantai ini, Salam hormat, Suhu! Namastee!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun