"Hujan terus! Banyak pohon cabe yang mati, Bang!"
"Bakal gagal panen! Bunga kopi banyak rontok!"
"Bakal ditimbun, Bang! Padahal, sebentar lagi puasa!"
Curup, kota tempat tinggalku, salah satu kota dengan curah hujan yang tinggi di Indonesia. Karena letak geografisnya di kaki Bukit Barisan. Satu-persatu, keluhan dan kegelisahan teman-temanku yang tergabung dalam beberapa kelompok tani terungkap.
Apatah lagi, di antara mereka ada yang berhutang sebagai modal awal, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan berharap saat panen, hutang tersebut bisa dilunasi.
Bagi temanku petani cabe, pasti sudah jauh hari memperhitungkan, masa panen akan dimulai saat memasuki ramadhan. Sehingga mereka akan mendapat harga yang lebih baik atau lebih mahal dari bulan biasa. Istilah teman-temanku "harga numbur".
Menilik harga minggu ini di kisaran Rp. 28 - 30. ribu perkilo di pasaran lokal, ada harapan, jika di saat bulan puasa akan menyentuh angka 40-45 ribu. Tapi harapan itu, pupus perlahan.
Hal yang sama dirasakan oleh pemilik kebun kopi. Kebahagiaan diawal tahun menyaksikan bunga-bunga di dahan kopi, berharap berubah menjadi kumpulan buah kopi yang lebat, menjadi senyum pahit.
Hujan sekali lagi menjadi "sasaran empuk" sebagai penyebab. Ketika bunga dan putik bakal buah terdampar di tanah. Sekarang, mereka berpacu "meleles" biji-biji kopi yang masih tersisa. Agar bisa "mencicipi" panen sebagai persiapan menyambut ramadhan dan lebaran.
Di Desa Sumber Urip yang sejuk, berjarak 5 kilometer dari puncak Bukit Kaba, terkenal sebagai sentra sayuran di Kabupaten Rejang Lebong dan Propinsi Bengkulu.
Temanku yang bertani sayur, masih berfikir ulang untuk menimbun tanaman sayur kol miliknya. Alasannya? Kemungkinan biaya perawatan tak akan mampu mengganti modal awal.
![Ilustrasi. petani Memetik Kopi. sumber gambar : https://curupekspress.com/ RENNI/CE](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/09/kopi-5e8f1b9cd541df5ee34ae7d2.jpg?t=o&v=770)
Panen yang gagal, berita dan cerita yang tak henti tentang virus corona yang mengancam, serta bayangan sebentar lagi puasa dan lebaran. Â Pelan-pelan menjadi beban pikiran.
Curah hujan dan perubahan cuaca ekstrim sekalipun, biasanya akan dihitung sebagai resiko bagi petani pemilik atau petani penggarap. Namun sejak "bola salju" kisah pandemi virus corona, menjadikan resiko itu semakin besar dan berat.
Banyak mata rantai yang terputus mulai dari ketersediaan bahan baku hingga kegiatan produksi serta distribusi yang terhambat dan menjadi langka di pasaran.
Hal itu, mengakibatkan harga kebutuhan pokok yang biasanya melonjak saat memasuki ramadhan, maka sejak pandemi virus corona, melonjak lebih awal. Sila survey kecil-kecilan harga gula, minyak, beras atau gas elpiji di lingkungan masing-masing. Â
Apalagi jika semua anggota keluarga berkumpul di rumah, bahkan yang merantau "dipaksa atau terpaksa" pulang kampung, membuat kebutuhan rumah tangga sehari-hari meningkat.
"Yang penting sehat dan bisa makan, sudah bersyukur, Bang!"
![Illustrasi Aparatur Sipin Negara/ sumber gambar : https://nasional.kompas.com/(CHRI Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/09/242127196-5e8f1c11d541df4f6f67b612.jpg?t=o&v=770)
Kukira, tiga ungkapan di awal tulisan terasa "menusuk", ketika siklus hidup keseharian menjadi terganggu serta dihadapkan dengan perubahan perilaku masyarakat di kampungku.
Terus, apalagi saat mendengar wacana relokasi anggaran yang bersumber dari APBN untuk percepatan pencegahan dan penanganan virus corona dengan melakukan potongan gaji. JIka tunjangan jabatan yang bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta, mungkin tak masalah. Tapi kalau ASN? Â Itu serius?
Bukan rahasia lagi, jika ada (bila salah, kutuliskan "banyak") di antara ASN yang memegang teguh makna filosofis lagu Bung Rhoma Irama, "Gali lobang tutup lobang, pinjam uang bayar hutang!"
Gak percaya? Sila bisik-bisik senyap ke tetangga kiri dan kanan atau teman-teman perbankan.
Petuah orangtuaku kepada semua anaknya, "jika jadi PNS, bersyukurlah! Setidaknya tak kelaparan, karena ada yang ditunggu. Tapi, PNS gak bakalan kaya!" Nah, biar "kelihatan" kaya, pasti berurusan dengan pihak perbankan. Dan muaranya berhadapan dengan "potongan"!
Eh, ada juga temanku yang mau kaya dengan cara yang benar, bukan dari korupsi atau dari harta warisan. Tapi dari usaha sampingan. Salah satunya bidang pertanian.
Bakal kena dua kali, kan? Gaji dipotong, terus panen juga gagal! Eh, jika pun wacana itu terealisasi. Bisa dibayangkan kemampuan daya beli masyarakat?
Logika pasar sederhana yang aku mengerti. Ketika gajian atau cair tunjangan gaji 13 atau THR. Kebutuhan dan permintaan di pasar akan meningkat, kan? Maka dinamika pasar, akan kembali bergerak.
Lah, kalau "calon pembelinya" sudah gak punya uang, gegara habis dipotong dan bayar hutang? Hiks...
Akhirnya...
Pada momen seperti kutulis di awal, teman-teman yang bertani, tak banyak berharap pada "kehadiran" negara yang sibuk, di tengah-tengah keluhan mereka. Aku masih yakin dan percaya, mereka akan bertahan. Dan menerima sebagai garis kehidupan.
Begitu juga ketika negara diharapkan hadir di saat pandemi ini. Dan hadir dengan wacana "potong gaji". Aih, dampaknya tak hanya pada pemenuhan kebutuhan yang bersangkutan. Tapi akan meluas pada banyak aspek kehidupan yang lain, tah?
Jadi? Aku titip ujaran tentang kepemimpinan. "Adalah benar tugas pemimpin itu mencari solusi. Tapi bukan melukai!"
Curup, 09.04.2020
[Ditulis untuk Kompasiana]