Seperti kasus gempa Lais 2007. Usai masa tanggap darurat, semua merasa perlu berbenah! Agar "kusut masai" saat menghadapi gempa atau bencana lainnya mampu dikondisikan dan terkoordinasi dengan baik.
Maka maraklah disain manajemen bencana, membentuk satgas, mengadakan sosialisasi dan pelatihan hingga ke tingkat desa. Melibatkan semua unsur. Dari tokoh masyarakat, tokoh agama, anak muda dan aparat keamanan. Sekarang? "Senyap"! Mungkin menganggap ancaman gempa sudah hilang. Hiks...
Percakapan itu kemudian berujung pada pertanyaan, Bagaimana cara memberikan informasi yang menenangkan sekaligus efektif pada masyarakat arus bawah? Dengan pilihan bahasa yang membuat lidah dan telinga tak menjadi "kusut"?
Akhirnya, hadir disain kerangka aksi sederhana. Setiap yang hadir, "bertugas" membuat media kampanye, yang disebar melalui media sosial masing-masing. Terserah apa saja, yang penting mengubah pendekatan dengan aura informasi positif.
Bisa berbagi gambar, video atau juga informasi yang tersebar di WA, tapi sudah dialihbahasakan dengan bahasa Curup (bahasa melayu). Misal cara mencuci tangan yang benar, cara melakukan isolasi mandiri, atau tentang menjaga jarak aman (social dan physical distanding).
"Eh, Ada gak film yang mirip-mirip kasus corona, Bang? Terus kita lakukan seperti dulu."
Dulu, bersama teman-teman, aku terlibat dalam kegiatan sosial dan pemberdayaan khususnya isu bencana. Salah satu media kampanye yang kulakukan buat sosialisasi isu bencana adalah melakukan pemutaran film dan nonton bareng.
Nah, setiap akhir pekan, berkeliling desa dan bertemu komunitas serta mengajak nonton bareng siapa saja yang mau. Lokasinya bisa di sekolah atau balai desa. Filmnya tentang bencana dan dampak bencana. Semisal gempa, tsunami, gunung api, banjir dan lain-lain.
"Tapi, mana boleh adakan nonton bareng!"
"Bagikan di media sosial!"