"Ternyata lebih gampang kalau bertemu siswa di kelas, Bang!"
"Butuh stok pulsa besar kalau begitu!"
Sesungguhnya, masih banyak lagi respon, ungkapan atau tanggapan yang bisa aku tuliskan dari guru dan orangtua. Aih, aku musti buru-buru menyembunyikan jari telunjuk, agar tak salah tunjuk, kan?
Aku jadi mengingat satu kiasan yang ditulis oleh "Romonya Kaum Marginal" YB Mangunwijaya, dalam buku Res Republica. Beliau menggambarkan sosok manusia (Indonesia?) itu seperti burung di dalam sangkar emas. Aku tulis, ya?
Ada seekor burung kesayangan pemiliknya. Diletakkan dalam sangkar yang indah dan mahal, setiap hari, makan dan air minum diperhatikan, kotoran selalu dibersihkan. Secara berkala dimandikan. Dan setiap pagi, pada tiang besi di depan rumah dijemur agar terkena sinar matahari.
Saat dijemur, acapkali sang burung menyaksikan sekawanan burung yang terbang bebas. Timbul keinginan dari sang burung, "Walau di sangkar indah dan kebutuhanku cukup. Namun aku terkurung! Tak bisa menikmati terbang bebas ke mana aku mau!"
Suatu pagi, pemilik burung lupa menutup pintu sangkar. Maka burung itupun segera terbang! Mengepak sayap sejauh mungkin dari sangkarnya. Merayakan kebebasan dengan menjelajahi angkasa. Letih terbang, sang burung kehausan dan kelaparan.
Namun hadir rasa kekhawatiran dan ketakutan menyaksikan "pertarungan" di alam bebas dengan berebut makanan dan minuman. Saat menjelang senja, turun hujan dengan deras hingga menjelang tengah malam.
Sang burung yang semakin letih, terus berusaha mencari pohon kayu yang paling tinggi. Sebagai tempat berteduh dan berlindung yang aman. Agar bisa tidur dan istirahat, walau menahan lapar.
Hingga ingatannya kembali kepada pemiliknya, "Tuhan! Aku ingin pulang ke sangkarku. Biarlah terkurung, namun aku masih bisa makan dan istirahat. Tolong bisikkan kepada pemilikku. Agar mencariku di sini. Aku ingin kembali, Tuhan!"