Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tenun Lombok, Batik Kaganga dan Kisah Sunyi Perempuan "Penjaga" Tradisi

16 Maret 2020   20:28 Diperbarui: 16 Maret 2020   21:50 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : facebook Mbak Leya Cattleya

April Mop masih lama, kan? Tapi, aku merasakan itu! Satu kejutan, rentetan kisah hingga akhirnya menjadi tulisan ini. Aku bagikan saja, ya?

Kemarin, sesampai di rumah, usai melakukan outbond. Ibuku memberitahu, jika ada paket untukku. Dari peraih 3 Award Kompasianival 2019, Mbak Leya Cattleya. Karena pulangnya malam, dan pesan ibuku, anak gadis yang ingin membukanya. Akhirnya aku nunggu pagi, tah?

Paginya? Anak gadisku, awalnya dengan dahi berkerut kemudian berubah menjadi sumringah wajahnya. Ada tiga jenis isi paketnya. 2 lembar kain tenunan dan 1 roman karya Pramoedya Ananta Toer, berjudul "Gadis Pantai". Suprise!

Sumber foto : facebook Mbak Leya Cattleya
Sumber foto : facebook Mbak Leya Cattleya
Kisah Kain Tenun dan Satu Pertanyaan Mbak Leya.

Saat kuhubungi Mbak Leya via WA (aku terkadang menyapa dengan kata suhu), aku mendapatkan "catatan" kisah sebagai asal usul tentang keberadaan dua helai kain itu, hingga sampai padaku.

Pertama. Kain panjang berwarna dominan ungu, adalah tenunan karya Inaq Nadya dari Sembalun Lombok Timur. Perempuan penyintas gempa Lombok, yang dikenal Mbak Leya, saat membantu mengantar ke rumah sakit untuk proses melahirkan.

Kedua. Kain seukuran selendang seperti Ulos berwarna kuning gading dengan pewarna alami, karya Nine, penenun Pringgasela Selatan Lombok Timur. Mbak Leya terlibat dalam pemberdayaan kelompok tersebut agar mandiri.

Ketiga. Namanya suhu, musti punya pesan tersirat selain tersurat, kan? Buku "Gadis Pantai" karya Pram, adalah kisah kehidupan suram perempuan (jawa) yang berhadapan dengan budaya patriarki dan feodalisme di awal abad 20.

Susah menyigi aktivitas Mbak Leya! Jika melihat kegiatan berkaitan dengan isu perempuan dan kain tenun, linimasa facebook-nya, tersaji festival EMPU (4-9 Januari 2020) di Semarang, fashion show on a train, hingga peragaan busana di atas perahu di Kampung Tambaklorok Semarang.

Dan, pagi tadi, "perang chat" diakhiri dengan satu pertanyaan yang bermakna "pukulan" dan menyempal di kepalaku.

"Di Curup, ada perempuan tenun atau songket, Uda?"

sumber foto : https://curupedia.wordpress.com/
sumber foto : https://curupedia.wordpress.com/
Kisah Sunyi Batik Kaganga Rejang Lebong

Di tempat tinggalku, khususnya Kabupaten Rejang Lebong, sependektahuku tak ada penenun atau perajin songket. Yang ada perajin batik Kaganga.

Motif batik Kaganga Rejang Lebong ini, memiliki 3 ciri khas utama, selain aneka flora dan fauna yang acapkali dijumpai di berbagai jenis motif batik di Nusantara.

Pertama. Huruf Kaganga atau Aksara Rejang. Dikenal juga oleh masarakat dengan sebutan "surat 'ulu". Istilah Kaganga sendiri diciptakan oleh Mervyn A Jaspan (1826-1975), Antropolog berkebangsaan Inggris. (link tentang Kaganga bisa lihat di bawah tulisan)

Kedua. Bunga Rafflesia Arnoldy. Sebagai wilayah habitat bunga langka dan menjadi simbol propinsi Bengkulu. Maka kelopak bunga Reflesia akan ada dalam setiap disain batik Kaganga.

Ketiga. Bokoa Iben (tempat daun sirih). Sejatinya khas Rejang, tempat daun sirih itu terbuat dari anyaman daun pandan atau bambu berbentuk segi empat. Yang biasanya hadir dalam acara-acara adat semisal "bekulo". Namun, simbol itu "berganti" dengan wadah yang biasa kita lihat dan terbuat dari kuningan.

Dulu, batik Kaganga adalah barang mewah dan wah. Harganya menjadi mahal dan hanya dipakai oleh orang tertentu dan pada acara tertentu. Selain proses pembuatannya sebagaimana batik tulis yang butuh waktu lama. Juga perajinnya yang sedikit dan mengerjakan jika ada pesanan.

Kisah sunyi batik Kaganga, dimulai dengan beberapa cara. Semisal gencarnya promosi budaya propinsi Bengkulu, termasuk Rejang Lebong awal tahun 90-an, salah satunya sebagai souvenir khas daerah.

Kemudian himbauan (kewajiban?) bahwa pejabat di daerah musti memiliki seragam batik Kaganga, hingga kemudian semua siswa di sekolah musti memiliki seragam batik Kaganga.

Dampak positifnya? Dengan promosi serta himbauan itu, Batik Kaganga mulai dikenal luas sebagai budaya khas Rejang Lebong juga propinsi Bengkulu. Dan sebagai cara untuk mempertahankan juga melestarikan budaya daerah.

Negatifnya? Konsep home industry dengan batik tulis bergeser! Berganti dengan mesin-mesin industri. Beragam corak dan warna batik Kaganga melalui pabrikasi dan dicetak dengan sistem print.

Batik Kaganga tak lagi sakral dan berkelas! Siapapun bisa memesan dan mendisainnya, dan diproduksi di pulau Jawa. Bagaimana perajin batik tulis Kaganga? Tertatih dan menempuh jalan sunyi. Membatik bukan lagi pekerjaan utama, karena pelanggan yang langka.

Kisah sunyi batik Kaganga juga dialami oleh Batik Basurek dari kota Bengkulu (dengan aksara arab) atau corak Batik Diwo dari kabupaten tetangga, Kepahiang dengan ciri khasnya daun teh dan biji kopi.

Apa benang merah kisah kain tenun dari Lombok dan batik Kaganga Rejang Lebong? Perajinnya didominasi perempuan! Perempuan sebagai penjaga tradisi kebudayaan.

Sumber foto : facebook Mbak Leya Cattleya
Sumber foto : facebook Mbak Leya Cattleya
Perempuan "Penjaga" Tradisi

Banyak narasi yang menulis tentang perempuan penjaga Kebudayaan. Baik dilakukan oleh para feminis atau aktivis hak-hak perempuan dan isu gender.

Perempuan sebagai ibu rumah tangga adalah "penjara suci tanpa terali besi". Apapun eksistensi perempuan di ruang publik. Maka urusan di rumah adalah profesi abadi dan tanpa henti.  Secara konvensional atau kesepakatan dengan pasangan, mau tak mau menjadi posisi tawar dan nilai tentang keperempuanan seorang perempuan.

Namun, keadaan itu kemudian menjadikan perempuan sebagai "penjaga dan perawat" tradisi budaya. Akhirnya, perempuan lebih mampu menjaga kebudayaan karena dominan struktur sosial adalah patriarki.

Ketika kaum lelaki bekerja di luar atau merantau. Maka perempuan "dipaksa" memenuhi kebutuhan juga menjalani kebiasaan dalam keseharian. Perempuan menjadi benteng pertahanan budaya lokal dari konflik komunal dan arus global.

Misalnya? Penggunaan bahasa daerah yang ditularkan kepada anak, berbagai resep makanan yang turun temurun, beragam tradisi pengobatan tradisional, hingga aneka mantra dan ritual yang hidup di masyarakat.

Begitu juga keterampilan sederhana yang dimiliki perempuan, yang digunakan untuk keperluan rumah tangga di rumah atau anggota keluarga. Semisal anyaman termasuk membatik dan menenun.

Tanpa sadar, perempuan menjadi cerminan praktek kebudayaan yang dihidupi oleh masyarakat. Tak keliru jika kemudian kusebut, perempuan sebagai pelaku sekaligus penjaga tradisi budaya, kan?

Dengan arus globalisasi, budaya instan dan gaya hidup konsumtif yang menjamur, serta isu-isu strategis perempuan di ruang publik yang lalu lalang di media massa.

Kutitip pertanyaan, berapa banyak perempuan yang mau menjaga "keperempuanan" dalam konteks budaya? Seperti yang dilakukan Mbak Leya dan kawan-kawan di Lombok?

Sumber foto : facebook Mbak Leya Cattleya
Sumber foto : facebook Mbak Leya Cattleya
sumber foto : Dokpri. gadisku dan suprise Mbak Leya
sumber foto : Dokpri. gadisku dan suprise Mbak Leya
Curup, 16.03.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Taman Baca :

1. Batik kaganga 2. Huruf Kaganga 3. Kisah sunyi Batik Kaganga 1 4. Kisah Sunyi Batik Kaganga 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun