Kemarin, aku menemukanmu. Anganku begitu ingin mengajak raga, meracik ulang bumbu rindu. Namun angin pada malam itu, kembali mengajak pulang sembilu. Mengusik jejak pilu kisah lalu. Tentang kau dan aku.
"Temui aku di tempat biasa, Mas! Pukul sembilan!"
***
Kukira, laju waktu lelah menipuku. Ketika warna pelangi dari letusan kembang api menghiasi langit malam, ketika riuh bebunyian dari terompet menemani detik-detik pegantian malam tahun baru. Kemarin, aku menemukanmu. Pada titik kedua persinggahan kalander baru. Â
Aku hanya bisa menunggu. Melewati pertukaran nama-nama hari yang dipenuhi sinar mentari, menanti cahaya jingga yang ditawarkan senja, atau mereguk kebisuan malam yang menyembunyikan rembulan.
Namun, tidak sejak sinar pertama pagi tadi. Aku menunda kabut mimpi, berharap menjadi yang pertama memetik butiran embun. Merangkainya menjadi mahkota dan menjaganya dari hunjaman mentari pagi.
Butuh limaratus tigapuluh menit, aku merangkum segala bening dari nyanyian jiwa, menyusun kata-kata. Agar kau tahu, aku adalah pencinta bukan pendosa.
Hanya sepuluh menit kusisakan untuk meramu secarik surat bersampul coklat, yang tergeletak di atas meja cafe. Dan sepuluh menit melewati angka sembilan pagi. Â
***
"Maaf terlambat, Mas!"
Dua tahun. Tak mengubah kebiasaanmu. Tapi, aku tak berharap kau mengubah rasamu untukku.
"Duduklah!"
"Aku ditunggu, Mas!"
"Di atas meja itu untukmu."
"Surat cerai?"
"Iya. Berbahagialah!"
Curup, 14.03.2020
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H