Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Kasus NF, Terkadang Pemicu Kasus Besar adalah Hal yang "Dianggap" Sederhana

12 Maret 2020   18:43 Diperbarui: 12 Maret 2020   19:26 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrated by pixabay.com

Ada ledakan tak terduga, menyimak arus deras berita dan tanggapan mengenai pembunuhan yang dilakukan oleh NF (15) kepada APA (5). Melirik sedikit kronologi kejadian, ledakan peristiwa itu melahirkan beberapa analisa, kajian dan pendapat.

Bagiku, julukan pembunuh atau psikopat terlalu tajam bagi seseorang, termasuk NF. Terlepas  dari grand disain logika berfikir, atau momentum waktu dan tempat pada saat peristiwa itu terjadi. Kata pembunuh dan psikopat tak serta merta hadir.

Musti ada rentetan titik-titik yang dirangkai hingga berakhir dengan kesimpulan pembunuh atau psikopat. Ada kemungkinan titik-titik itu dari internal pelaku dan keluarga atau dari pengaruh eksternal semisal lingkungan.

Kali ini, kucoba tuliskan rekayasa kasus melalui dua pendekatan. Pertama Kutub Pendekatan Negatif, dan kedua Kutub Pendekatan Positif.

ilustrated by pixabay.com
ilustrated by pixabay.com
Kutub Pendekatan Negatif, Akibat karena Sebab?

Pendekatan ini, berpijak dari akibat yang ditimbulkan dari suatu peristiwa. Biasanya akan dimulai dengan deret pertanyaan. Jika dikerucutkan pada kasus NF yang "meledak". Pertanyaannya akan sedikit bergeser. Seperti:

Apakah pemantiknya karena pelaku masih kategori remaja 15 tahun dan korbannya balita? Atau karena peristiwa itu dilakukan di rumah? Atau karena pelakunya menyerahkan diri? Atau karena asupan tayangan film yang memicu inspirasi untuk melakukan pembunuhan itu?

Dalam kajian hukum, dikenal konsep sebab-akibat (causalitas). Berpijak pada kerangka pemikiran itu, sesiapapun memungkinkan menjadi pelaku atau korban. Dan siapapun serta apapun bisa menjadi penyebab tindakan pembunuhan itu.

Bila demikian, penganut pepatah "tak ada asap, jika tak ada api" kemudian menyigi orang-orang terdekat. Khususnya, yang paling dekat dengan pelaku. Mulai dari keberadaan orangtua, lemahnya pengawasan serta pola asuh yang diterapkan hingga akibatkan itu.

Akan ada banyak ruang tanya yang bisa diajukan untuk mengarahkan telunjuk. Dan melibatkan tak lagi pihak terdekat dari pelaku. Namun akan menyeberang pada area yang lebih luas.

Semisal kenapa orangtua korban membiarkan anaknya bermain dengan pelaku tanpa pengawasan. Tak adakah sedikit yang tersisa dari pembelajaran tentang perbuatan salah dan benar yang didapatkan dari guru di sekolah?

Pihak media juga akan disorot. Kenapa menyajikan tayangan-tayangan "tak berbobot" yang "lupa" menyisipkan pesan-pesan moral. Jika itu bukan lembaga resmi, maka stakeholder dalam hal ini pemerintah pun akan terkena imbas. Kenapa membiarkan tayangan tersebut bebas berseliweran?

Pendekatan ini akan ampuh sebagai sebagai tindakan refresif. Mengungkapkan, membuktikan dan menyelesaikan. Bagaimana jika dimkanai sebagai tindakan preventif untuk mencegah atau meminimalisir agar tak terulang lagi?

tirto.id
tirto.id
Kutub Pendekatan Positif, Menyigi Potensi Sebab

Aku lebih tertarik dengan beberapa gambar yang kemungkinan bakal dijadikan alat bukti oleh pihak berwajib. Semisal hasil sketsa lukisan yang dibuat oleh NF atau tulisan-tulisan yang tertera dalam buku diari.

Melukis dan menulis, adalah kemampuan yang tak dimiliki semua orang. Jika menggunakan kacamata awamku, hasil sketsa lukisan itu mewakili penilaianku bahwa NF adalah sosok kreatif. Jika kata "berbakat" keliru disematkan padanya.

Pertanyaannya, kenapa orang yang memiliki kreatifitas itu atau katakanlah berbakat, "mampu" berfikir dan melakukan peristiwa tragis itu?

Beberapa penelitian, menyatakan orang yang berbakat mempunyai kebutuhan dan masalah khusus. Terkadang dianggap unik, aneh atau ganjil dalam interaksi sosial di lingkungannya.

Jika ditangani dengan tepat, memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan dan potensi secara maksimal. serta mampu memberikan sumbangan pemikiran dan kemajuan bagi masyarakat.

Sebaliknya, jika terabaikan, mereka akan menjadi underachiever. Berperan di luar kemampuan. Tak hanya merugikan perkembangan diri yang bersangkutan, namun masyarakat akan kehilangan bibit unggul!

Jika menggunakan rute pendekatan ini. Pada kasus NF, bisa disigi melalui Strategi 4 P  kreatifitas yang biasa dikenal dalam parenting.

Pertama. Pribadi. Kreatifitas adalah ekspresi dari keunikan setiap individu. Yang menggambarkan keasliannya (orisinalitas), dan berbeda dengan orang lain. Pertanyaannya, sejauh mana orang tersebut atau orang lain menghargai sebagai keunikan bukan perbedaan?

Pada kasus NF. Mungkinkah tak ada deteksi dini tentang kreatifitas atau bakat melukis itu? Atau disadari tapi tidak dihargai? Sehingga menjadi sosok underachiever, berujung keputusasaan dari sebuah pengakuan pada keberadaan?

Kedua. Pendorong. Ada yang secara sadar mengenal potensinya, hingga mampu memotivasi diri sendiri. Namun tak sedikit yang butuh "dorongan atau cambukan" dari orang lain. Hingga mereka percaya, jika mereka memang memiliki bakat itu.

Pada kasus NF. Mungkinkah terlupa memicu dan memacu kemampuan NF untuk memotivasi diri sendiri? Jika pun ada dorongan dari orang terdekat, apakah sesuai dengan harapan yang dinginkan?

Ketiga. Proses. Ada idiom sederhana bahwa "sukses itu adalah sukai proses". Lihat saja berbagai ajang pencarian bakat. Ribuan talenta anak negeri di dunia seni, sain atau olahraga. Begitu penuh harapan di masa muda, tapi "menghilang" saat dewasa. Banyak contoh, kan?

Pada kasus NF, adakah kemungkinan terjadi, dorongan itu melampaui kemampuan yang saat ini dimiliki. Sebesar apapun bakat dan minat seseorang, jika dikejar secara instan. Maka perlahan akan padam. Atau tekanan itu berbalik menjadi pertahanan dan serangan mematikan.

Keempat. Produk. Usai melalui tahapan penghargaan potensi yang dimiliki, melakukan dorongan, serta menjalani beragam proses untuk menjaga potensi diri. Maka seseorang butuh ajang untuk mengekspresikannya. Berbentuk sebuah produk yang melahirkan pengakuan.

Pada kasus NF. Adakah tindakan yang dilakukan karena "sumbatan" yang dialami untuk memperlihatkan bakatnya, hingga menempuh cara lain? Atau ketidaksabaran untuk mengekspresikan diri?   

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Akhirnya...

Terlepas dari permasalahan hukum dan apapun dampak dari kejadian itu bagi pelaku, korban atau keluarga dan lingkungan sekitarnya. Pasti ada pembelajaran mahal bagi orang lain. Pendekatan Kutub Negatif dan Kutub Positif di atas sebagai contoh alternatif cara menyikapi kasus.

Menghukum NF dengan menyematkan julukan pembunuh dan psikopat, mungkin bisa mempercepat penyelesaikan kasus. Tapi tak akan menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Dan tak akan pernah mampu menghentikan peristiwa itu, tak akan terulang lagi di masa depan.  

Sekilas analisa kasus menggunakan Strategi 4P pada hasil kreatifitas lukisan dari NF. Bisa digunakan pada berbagai potensi setiap individu. Tanpa memandang usia, tingkat pendidikan atau status sosial.

Terkadang, kasus-kasus besar yang terjadi, pemantiknya adalah hal-hal yang sederhana.

Curup, 12.03.2020

zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun