Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mudahnya Mencari Alasan dan Dahsyatnya Wejangan "Jangan Cari Masalah"!

11 Maret 2020   17:25 Diperbarui: 12 Maret 2020   02:07 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrated by pixabay.com

"Kenapa telat? Bangunnya kesiangan lagi?"
"Bukan kesiangan. Tapi, matahari terlalu cepat terbit!"
"Alasan!"
"Terus, masalahnya apa?"
"Gak ada!"

Begitulah! Terkadang mulut kita jadi mirip senjata pelontar otomatis, dengan pikiran yang dipicu oleh lesatan dengan kecepatan cahaya. Untuk menemukan satu, dua hingga sekian puluh ide untuk sebuah alasan.

Secara acak, aku cari di google, termasuk Kompasiana, juga situs berita online lain. Selain kata "Hal" dan "Sebab", Ternyata penggunaan kata "Alasan dan "Masalah" banyak dipilih sebagai bagian dari judul tulisan.

Misal: 6 Alasan Mengapa Jualan Anda Tidak Ada yang Beli?, 4 Alasan Mengapa Semua Orang Membutuhkan Penghasilan Sampingan, 5 Alasan Kenapa si A Melakukan ini, atau 3 Alasan Orangtua Perlu Belajar Tiktok. Aih, masih banyak, kan?

Secara kiramologiku, pilihan kata "Alasan" itu mungkin saja untuk menarik pembaca atau memudahkan pemetaan isi tulisan agar semakin terarah. Namun, diam-diam aku jadi curiga juga. Jejangan memang kita terlatih membuat alasan.  

Kondisi sebaliknya terjadi pada kata masalah. Saat diajak untuk mencari dan merumuskan masalah. Terkadang, secara tiba-tiba, isi kepala jadi mampet. Ide-ide tersendat seperti kredit macet. Berujung sunyi senyap. Kenapa begitu?

Ilustrated by pixabay.com
Ilustrated by pixabay.com
Sejak kecil, Kita Terbiasa Mencari Alasan

Dalam KBBI online. Kata alasan memiliki empat makna dan fungsi. Pertama, bermakna dasar,asas;hakikat. Kedua. Sebagai bukti keterangan yang digunakan untuk menguatkan pendapat. Ketiga. Sebagai pendorong untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Keempat. Sebagai pembenaran untuk suatu peristiwa atau kejadian.

Diperkuat lagi, keempat makna dan fungsi kata alasan itupun, tumbuh subur dan sedemikian eksis dalam kehidupan sehari-hari. Sejak kecil hingga dewasa, saat di rumah, di sekolah, saat kuliah atau di tempat kerja.

Jika ada dua orang anak yang bertengkar, anggaplah seorang kakak yang yang memukuli adiknya hingga menangis. Selain memarahi sang kakak, orangtua biasanya akan bertanya, "apa alasanmu, memukul adikmu?"

Saat di sekolah dan lupa mengerjakan PR atau tidak masuk sekolah. maka wali kelas atau guru akan bertanya, "Kenapa tidak mengerjakan PR? Apa alasanmu?"

Tak berhenti di ujaran. Dalam soal-soal latihan atau ujian di sekolah. Acapkali kita menemukan pertanyaan, "Berikan alasanmu, kenapa VOC runtuh?" atau "Kenapa Minyak bumi disebut sumberdaya alam yang tidak bisa diperbagarui? Jelaskan beserta alasannya!"

Semasa kuliah, setiap orang akan semakin terlatih mencari alasan. Satu pertanyaan, kenapa belum selesai? Akan berbeda jawaban sebagai alasan yang ditujukan buat orangtua, teman, pacar, calon mertua, teman orangtua dan barisannya akan semakin panjang, tah?

Jika alasan itu digunakan dalam disain perencanaan sebuah kegiatan, pasti keren. Biasanya akan masuk pada area "asumsi". Untuk mengetahui hal yang bakal menghambat atau menggagalkan pelaksanaan kegiatan. Jika analisis SWOT terlalu panjang rutenya, kan?

Namun, kata alasan banyak digunakan pada hal yang kontraproduktif untuk "menutupi" kelemahan atau kegalalan. Akhirnya, konsep pemikiran kita akan seperti pepatah, "sediakan payung sebelum hujan". Kekadang, pakai rumus "sebelum kerja siapkan dulu alasan kalau gagal". Tuh, kan?

Gawatnya, walau setiap orang sering menggunakan alasan. Namun bakalan jengkel juga dengan seseorang yang memiliki banyak alasan. "Sudah, diam! Terlalu banyak alasan!"

Ilustrated by pixabay.com
Ilustrated by pixabay.com
Dahsyatnya Wejangan "Jangan Cari Masalah!"

Berbanding terbalik dengan mencari masalah. Sejak kecil, kita malah sudah diwanta-wanti sama orangtua, guru, teman atau siapapun. Dengan wejangan dan petuah maha dahsyat, "Jangan cari masalah!"

Orangtua akan jengkel atau terpicu amarahnya. Ketika mengetahui, anaknya acapkali bermasalah. Entah di lingkungan sekitar rumah, di sekolah, saat merantau untuk kuliah, atau atau pun di tempat kerja.

Walaupun ada yang dicap sebagai "biang masalah". Sesungguhnya yang bersangkutan pun tak tahu cara mencari masalah. Yang disadari adalah, kelakuannya berbeda dengan tata nilai yang berlaku, maka dianggap bermasalah. Hanya itu.

Akhirnya, sejak kecil hingga dewasa, kita tak terlatih mencari masalah. Dampaknya? Paling gampang lihat saja rute kegelapan yang dialami mahasiswa level tugas akhir atau skripsi. Dibawah ini, dialog yang beberapa kali kualami.

"Bang, bisa bantu carikan judul skripsi!"
"Masalahnya apa?"
"Nah, itu! Belum tahu!"
"Lah? Rumuskan dulu masalahnya! Akan ketemu judul!"

Percakapan seperti ini, acapkali dilakukan oleh mahasiswa jelang semester akhir. Bertanya kepada para senior, dosen yang akrab, kepada dosen pembimbing akademik. Atau orang yang dianggap mengerti.

Jika ditanya, apa hambatan menyusun skripsi? Jawabannya nyaris seragam, "Susah cari judul!"

Sesungguhnya yang dialami, adalah kesulitan menangkap fenomena yang kemudian menjadi "masalah". Padahal, jika jeli mencari atau merumuskan masalah, maka judul tak akan sulit. Ujungnya, dua semester dihabiskan dengan bertempur mencari judul dan merumuskan masalah.

Ilustrated by pixabay.com
Ilustrated by pixabay.com
Fenomena atau Penyakit Sosial?

Jika melihat gejala sosial yang terjadi saat ini. Maka penjelasan dengan menggunakan kata "alasan" lebih diperhatikan. Dari pada menguraikan tentang sesuatu berdasarkan akar masalah yang terjadi.

Lihat aja, jika pejabat publik memberikan keterangan atau konferensi pers. Apapun yang akan atau sudah dilakukan. Maka pertanyaannya adalah, "apa alasannya?" Dan, diharapkan keingintahuan publik tertutupi dengan alasan-alasan.

Eh, jejangan, alasan itu adalah masalah yang sesungguhnya? Sehingga ketika diajak memecahkan masalah, yang hadir malah anak-anak masalah? Bukannya menemukan akar masalah sebenarnya untuk merumuskan solusi.

Aih, entahlah. Sependektahuku. Mudahnya mencari alasan, tak segampang mencari masalah. Walau terkadang mencari alasan juga bakalan posisi serba salah dan serba susah. Seperti lagu berikut ini.


Curup, 11. 03. 2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun