Percakapan seperti ini, acapkali dilakukan oleh mahasiswa jelang semester akhir. Bertanya kepada para senior, dosen yang akrab, kepada dosen pembimbing akademik. Atau orang yang dianggap mengerti.
Jika ditanya, apa hambatan menyusun skripsi? Jawabannya nyaris seragam, "Susah cari judul!"
Sesungguhnya yang dialami, adalah kesulitan menangkap fenomena yang kemudian menjadi "masalah". Padahal, jika jeli mencari atau merumuskan masalah, maka judul tak akan sulit. Ujungnya, dua semester dihabiskan dengan bertempur mencari judul dan merumuskan masalah.
Jika melihat gejala sosial yang terjadi saat ini. Maka penjelasan dengan menggunakan kata "alasan" lebih diperhatikan. Dari pada menguraikan tentang sesuatu berdasarkan akar masalah yang terjadi.
Lihat aja, jika pejabat publik memberikan keterangan atau konferensi pers. Apapun yang akan atau sudah dilakukan. Maka pertanyaannya adalah, "apa alasannya?" Dan, diharapkan keingintahuan publik tertutupi dengan alasan-alasan.
Eh, jejangan, alasan itu adalah masalah yang sesungguhnya? Sehingga ketika diajak memecahkan masalah, yang hadir malah anak-anak masalah? Bukannya menemukan akar masalah sebenarnya untuk merumuskan solusi.
Aih, entahlah. Sependektahuku. Mudahnya mencari alasan, tak segampang mencari masalah. Walau terkadang mencari alasan juga bakalan posisi serba salah dan serba susah. Seperti lagu berikut ini.
Curup, 11. 03. 2020
[ditulis untuk Kompasiana]