Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menyigi "Kursi Kosong" Sastra

10 Maret 2020   16:30 Diperbarui: 10 Maret 2020   17:35 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Gegara mayoritas artikelku di Kompasiana adalah tulisan fiksi, baik puisi atau cerpen. Acapkali ada pertanyaan tertuju padaku. Termasuk beberapa orang guru yang mengajar bahasa Indonesia.

Bagaimana cara menulis puisi atau cerpen? Kenapa sulit menuturkan ide ke dalam tulisan? Adakah tips khusus agar bisa diajarkan di sekolah?

Secara jahat, jawaban yang kuajukan adalah; "Tulis saja! Karena menulis adalah kata kerja. Jika tak dikerjakan, tak akan ada tulisan!"

Aku hanya penikmat sastra. Dan masih malu untuk memberikan tips menulis, atau mengaku sebagai penulis, apalagi sastrawan. Lebih perih lagi jika ditanya tentang buku yang sudah terbit? Hiks...

Bagiku, menulis adalah proses mengolah partikel bebas yang kutangkap melalui indera. Sebagai refleksi internal diri tentang rasa dan peristiwa yang aku atau orang lain alami. Kemudian dipahatkan pada kata dan kalimat berbentuk tulisan.

Apakah kemudian tulisanku yang berbentuk puisi atau cerpen itu masuk ke ranah sastra? Entahlah! Kubiarkan saja tulisan itu mengalir menemui kematian. Jika kemudian ada respon baik positif atau negatif dari pembaca, kumaknai tulisan itu "hidup" kembali. Dan itu, versi pembaca.

Akhirnya, jadi kepikiran juga. Apa kabar sastra hari ini?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Sastra Masih Terkungkung Pemaknaan Bahasa?

Dalam sebuah essay, Putu Wijaya memaknai sastra adalah karya yang setidaknya memiliki kekuatan konkrit.

Pertama. Sastra adalah dokumen perkembangan daya pikir dengan imajinasi sebagai wilayahnya. Dan imajinasi adalah wilayah yang terus bergerak. Tak hanya sekedar fiksi, juga bukan fakta yang kering dari fenomena yang terjadi. Perkawinan fiksi dan fakta, membuat sastra menjelajah tanpa batas.

Kedua. Sastra adalah seminar terbuka yang mengikuti pasang surut kehidupan. Bukan hasil akhir! Namun akan terus menumbuhkan kesimpulan baru, beragam interpretasi dengan sudut berbeda dan hasil yang berbeda pula. Sastra menjadi pendidikan jiwa yang memperkaya batin manusia. Karena sastra mengajak manusia untuk terus menerus menyigi perkembangan dari kemungkinan-kemungkinan.

Ketiga. Sastra adalah senjata dan kekuasaan raksasa yang lunak. Sastra mampu menjangkau berbagai hal yang tak tergapai oleh pemaksaan, kekerasan bahkan kekuatan senjata. Pada akhirnya, pesona bahasa dengan segala maknanya, mampu menggiring manusia sesuai keinginan tanpa keterpaksaan dari orang yang dipengaruhi.

Putu Wijaya pun, memaknai sastra sebagai "segala bentuk ekspresi yang memakai bahasa" sebagai basisnya. Jika menggunakan pakem ini, dengan bahasa sebagai kata kunci. Maka semua catatan-catanan, surat-surat, berita-berita, cerita dan puisi, anekdot, pidato, doa, pernyataan-pernyataan, apabila mengandung ekspresi dalam berbahasa adalah sastra!

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Menyigi "Kursi Kosong" Sastra

Berpijak dari ungkapan di atas, nyaris semua sendi kehidupan mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Politik, ekonomi ataupun teknologi tak terlepas dari kungkungan bahasa. Namun mengapa sastra dianggap ada dalam tiada?

Secara etimologi, sastra adalah tulisan atau teks. Namun terminologi sastra jika merujuk kepada pelajaran bahasa Indonesia dengan istilah kesusastraan adalah tulisan yang memiliki keindahan.

Guru Bahasa dan Sastra yang mengajar di kelas, akan kesulitan menghadapi pertanyaan, keindahan yang bagaimana atau versi siapa? Apakah parameter keindahan itu? Apa atau siapa yang berhak membuat batasan tulisan itu indah dan tidak indah?

Jika kemudian pertanyaannya dibalik. Apakah tulisan yang tidak indah itu bukan sastra? Bagaimana jika tulisan itu ditulis dengan kata seadanya, tanpa ada olahan kata, rima dan irama namun mampu menggugah rasa orang yang membaca. Bukan sastra, kah?

Bagaimana dengan tradisi lisan yang dikisahkan turun temurun? Walaupun terkadang ditulis transkripnya dalam bahasa tulisan, namun akan terasa berbeda jika dituturkan dengan menggunakan lisan. Semisal pantun, syair atau petatah-petitih Minang?

Coba saja dengarkan "keluhan" anak didik tentang begitu membosankannya pelajaran Bahasa Indonesia. Konsep membaca, menulis dan mengarang terkukung pada aturan tata bahasa. Belum lagi ternyata, ada guru bahasa yang tak terbiasa menulis. Hiks...

Bagaimana dengan pembelajaran sastra dalam bahasa Indonesia? Jikapun masih ada bersinggungan dengan sastra, materi jamak yang diberikan adalah tentang nama-nama pengarang, judul karya dan tahun-tahun terbit serta resensi atau ringkasan.

Berapa banyak anak sekolah yang dibebankan untuk membaca dan menuntaskan karya sastra serta membuat reading report selama mereka sekolah? Ketika kesulitan merefleksikan diri dengan menulis ulang karya yang telah dibaca, apalagi membuat karya sendiri?

Bekal penguasaan berbahasa yang terbatas di sekolah, akan berimbas saat mereka melanjutkan ke perguruan tinggi. Banyak mahasiswa yang menjadikan skripsi seperti "hantu" bahkan terkadang menyerah. Atau akhirnya memilih jasa penyedia penulisan skripsi secara sembunyi-sembunyi?

Memahami konsep berbahasa dengan penjara tata bahasa, hanya akan menjadi alat penyambung pikiran dan logika semata. Bukan olahan untuk menyambung rasa. Jika tanpa kehidupan rasa, pengetahuan tak hanya gersang, membosankan, tak manusiawi namun juga jauh dari beradab.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Apa yang bisa dilakukan?

Mengajak pulang sastra dalam sendi kehidupan! Pembelajaran sastra tak hanya menyigi dan menghapal jenis karya, tahun dan nama-nama. Sehingga pelajaran dimaknai sebagai penderaan dan penderitaan.

Guru tak hanya mengajar yang dimaknai menghajar. Namun menemani dan mengantarkan, membimbing dan mengembangkan potensi siswa. Menjadi inspirasi bahkan memotivasi anak didik untuk bangkit dan berjuang mencapai targetnya.

Pasti keren, jika guru mampu menjadi juru bicara sastra, seorang penafsir, bahkan jika diperlukan menjadi "penipu ulung" dalam bersiasat untuk mengolah rasa anak didik. Dengan begitu, guru menjadi seorang pemain aktif bukan sekedar pengantar sastra.

Bagaimana dengan penulis sastra dan sastrawan? Mereka bertanggung jawab menjaga kesejukan setiap manusia dari kegersangan jiwa. Memandu pengembaraan olahan rasa. Tak hanya tentang karya yang dibukukan dan tersusun pada rak-rak sepi perpustakaan.

Namun menyisip pesan, jika sastra itu berguna bagi kehidupan manusia!

Curup, 10.03.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun