Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menyigi "Kursi Kosong" Sastra

10 Maret 2020   16:30 Diperbarui: 10 Maret 2020   17:35 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Ketiga. Sastra adalah senjata dan kekuasaan raksasa yang lunak. Sastra mampu menjangkau berbagai hal yang tak tergapai oleh pemaksaan, kekerasan bahkan kekuatan senjata. Pada akhirnya, pesona bahasa dengan segala maknanya, mampu menggiring manusia sesuai keinginan tanpa keterpaksaan dari orang yang dipengaruhi.

Putu Wijaya pun, memaknai sastra sebagai "segala bentuk ekspresi yang memakai bahasa" sebagai basisnya. Jika menggunakan pakem ini, dengan bahasa sebagai kata kunci. Maka semua catatan-catanan, surat-surat, berita-berita, cerita dan puisi, anekdot, pidato, doa, pernyataan-pernyataan, apabila mengandung ekspresi dalam berbahasa adalah sastra!

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Menyigi "Kursi Kosong" Sastra

Berpijak dari ungkapan di atas, nyaris semua sendi kehidupan mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Politik, ekonomi ataupun teknologi tak terlepas dari kungkungan bahasa. Namun mengapa sastra dianggap ada dalam tiada?

Secara etimologi, sastra adalah tulisan atau teks. Namun terminologi sastra jika merujuk kepada pelajaran bahasa Indonesia dengan istilah kesusastraan adalah tulisan yang memiliki keindahan.

Guru Bahasa dan Sastra yang mengajar di kelas, akan kesulitan menghadapi pertanyaan, keindahan yang bagaimana atau versi siapa? Apakah parameter keindahan itu? Apa atau siapa yang berhak membuat batasan tulisan itu indah dan tidak indah?

Jika kemudian pertanyaannya dibalik. Apakah tulisan yang tidak indah itu bukan sastra? Bagaimana jika tulisan itu ditulis dengan kata seadanya, tanpa ada olahan kata, rima dan irama namun mampu menggugah rasa orang yang membaca. Bukan sastra, kah?

Bagaimana dengan tradisi lisan yang dikisahkan turun temurun? Walaupun terkadang ditulis transkripnya dalam bahasa tulisan, namun akan terasa berbeda jika dituturkan dengan menggunakan lisan. Semisal pantun, syair atau petatah-petitih Minang?

Coba saja dengarkan "keluhan" anak didik tentang begitu membosankannya pelajaran Bahasa Indonesia. Konsep membaca, menulis dan mengarang terkukung pada aturan tata bahasa. Belum lagi ternyata, ada guru bahasa yang tak terbiasa menulis. Hiks...

Bagaimana dengan pembelajaran sastra dalam bahasa Indonesia? Jikapun masih ada bersinggungan dengan sastra, materi jamak yang diberikan adalah tentang nama-nama pengarang, judul karya dan tahun-tahun terbit serta resensi atau ringkasan.

Berapa banyak anak sekolah yang dibebankan untuk membaca dan menuntaskan karya sastra serta membuat reading report selama mereka sekolah? Ketika kesulitan merefleksikan diri dengan menulis ulang karya yang telah dibaca, apalagi membuat karya sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun