Pertama. Kaum muda sebagai generasi.
Ada ungkapan "setiap jaman ada orangnya dan setiap orang ada jamannya". Semisal masa kolonial dulu, Kaum Muda adalah sebutan untuk orang-orang pergerakan (agama atau politik). Berbeda lagi dengan sebutan kaum muda era reformasi yang menghentikan sejarah orde baru.
Kedua. Kaum muda sebagai transisi.
Posisi kaum muda berada "di tengah" antara kanak-kanak dan orangtua. Yang menciptakan tekanan secara fisik dan psikis, dan memaksa mereka harus "lebih baik" dari generasi sebelumnya. Akhirnya, kaum muda mengikuti "jalur sutra" yang digariskan oleh orang yang lebih tua. Â Terkadang menjadi serba susah atau serba salah.
Ketiga. Kaum muda sebagai pencipta dan konsumen budaya.
Arus dan budaya luar (globalisasi) mendorong kaum muda menciptakan sekaligus menjadi konsumen dari budaya itu sendiri. Kemudian melahirkan "budaya baru" di masyarakat.  Bisa dimaknai sebagai adaptasi dengan budaya luar atau sebagai tameng menghadapi arus deras globalisasi. Semisal maraknya musik indie,disko remix atau koplo lagu-lagu daerah.
Tiga perspektif itu adalah dinamika yang musti dilalui Kaum Muda untuk merespon isu-isu perubahan yang pasti terjadi. Berat? Iya!
Jika keliru merespon? Muaranya seperti fenomena yang telah ditulis di atas. Sebagai gaya hidup baru atau budaya baru direkatkan pada kaum muda. Gawat, kan?
Curup, 06.03.2020
[ditulis untuk Kompasiana]