Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Orangtua "Hamba" dan Anak "Raja Kecil"? Yuk Ubah Paradigma terhadap Anak!

5 Maret 2020   21:28 Diperbarui: 6 Maret 2020   02:34 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peran orangtua dalam memberikan pendidikan pada anak tak akan mampu tergantikan, sekalipun telah dididik oleh lembaga pendidikan| Sumber: Freepik via Grid.id

Bahkan ada yang tidak siap secara mental dan psikologis menjadi orangtua. Akhirnya, orangtua menjadi "hamba" dan anak menjadi "raja kecil". Kenapa itu bisa terjadi?

Karena orangtua tidak mengetahui dan mempelajari karakter anak sejak usia dini. Caranya dengan menyediakan waktu yang cukup untuk berinteraksi dan bercengkerama dengan anak.

Manfaat yang didapatkan orangtua? Kemungkinan mampu mendeteksi bakat terpendam anak, tumbuh kepercayaan yang kuat bagi anak terhadap orangtua, anak akan memahami dan siap dengan aturan keluarga yang dibuat, serta anak akan memiliki ketenangan psikologis, terkait keberadaan orangtua.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Mengubah Paradigma Orangtua Terhadap Anak
Apa yang bisa dilakukan orangtua? Menurut Munif Chatib, orangtua musti mengubah paradigma orangtua terhadap anak. Ada tiga paradigma yang seharusnya dianut oleh orangtua.

Pertama. Anak kita adalah bintang.
Tanpa sadar, terkadang orangtua yang memulai pertama kali beragam cap kepada anak. Anak yang terlambat melakukan sesuatu dicap "lelet", anak yang nilainya rendah dicap "bodoh", atau suka usil dan berkelahi diberi stempel "nakal". Iya, kan?

Jadi, pola pikir yang pertama musti diubah adalah cara memandang sosok anak. Apapun kondisinya dengan segala kelemahan dan kekurangannya, seharusnya anak adalah bintang atau sang juara! Susah? Iya. Hiks...

Kedua. Anak kita seluas samudera.
Normal ada kekecewaan yang dirasakan orangtua, jika anaknya memiliki peringkat 25 dari 30 siswa setiap menerima rapor. Namun acapkali orangtua terlupa dengan mereduksi dan menyempitkan kemampuan anak dengan mengukurnya berdasarkan raihan itu.

Jika menyimak tiga aspek kemampuan anak pada kemampuan afektif, kognitif dan psikomotorik. Ukuran kemampuan anak tidak berpatokan pada nilai atau peringkat tertinggi semata. Maka dalam hal ini, orangtua musti meyakini anaknya memiliki kemampuan seluas samudera.

Ketiga. Anak kita mempunyai harta karun.
Berkorelasi dengan poin kedua di atas, para ahli menyatakan ada banyak kecerdasan majemuk. Di antaranya kecerdasan linguistic, musik, matematis logis, kinestetik, naturalis atau kecerdasan intrapersonal. Mungkin saja anak memiliki salah satu dari kecerdasan itu dan berpotensi sebagai harta karun.

Bisa saja anak lemah dalam matematika, namun memiliki kemampuan berbahasa. Atau anak terbatas secara fisik, tapi memiliki kecerdasan dalam bermusik. Bahkan ada anak yang lemah dalam seluruh nilai akademik, namun mudah berinteraksi dan bersosialisasi.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Jadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun