Burung kakak tua, hinggap di jendela
Nenek sudah tua, giginya tinggal dua
Topi saya bundar, bundar topi saya
Kalau tidak bundar, bukan topi saya
Masih ingat kedua lagu ini? Lagu pertama, "Burung Kakak Tua" ciptaan AT Mahmud (1930-2010). Dan lagu ini pernah ada perdebatan tentang hak cipta. Mulai dari asal usul hingga klaim negara tetangga.
Lagu kedua, "Topi Saya Bundar" ciptaan Soerjono (1912-1992) yang dikenal dengan sebutan "Kak Sur", dan akhirnya menjadi "Pak Kasur." Kukira, kedua lagu ini bisa masuk kategori legendaris semasa kanak-kanak, tah?
Selain lirik yang gampang dicerna, lagu ini juga memiliki irama dan nada yang nyaris sama. Jadi, rada aneh kalau ada anak-anak yang tak kenal lagu ini, kan?
Ternyata, lagu itu tak hanya seru dinyanyikan oleh anak-anak. Orang-orang dewasa pun akan merasa bahagia. Bahkan terkadang berekspresi lebih kanak-kanak daripada anak-anak. Aih, kok bisa? Aku ceritakan, ya?
Dalam beberapa kali kegiatan outbound, kedua lagu ini acapkali aku gunakan dalam sesi ice breaking. Walaupun pesertanya orang-orang dewasa atau orang kantoran. Alasannya? Nyaris semua kenal lagu ini.
Karena tujuan ice breaking, untuk memecah dan mencairkan suasana. Bermodalkan dua lagu itu, aku akan membuat tiga varian.
Pertama. Semua peserta menyanyikan secara serentak hingga selesai kedua lagu itu. Pada tahapan ini, peserta akan ada yang ragu, menganggap angin lalu. Ada juga serius bernyanyi, sambil tertawa atau bertukar pandang sesama peserta.
Kedua. Biasanya, aku akan membagi peserta menjadi dua kelompok (berdasarkan jenis kelamin), dan menentukan lagu yang harus dinyanyikan. Kemudian peserta secara serentak menyanyikan kedua lagu itu. Â Umumnya peserta mulai tertarik.
Ketiga. Selanjutnya, kedua kelompok besar bergantian menyambung lagu dengan larik yang berbeda. Menjadi lagu "acak" :
Burung kakak tua, bundar topi saya
Nenek sudah tua, bukan topi saya
Topi saya bundar, hinggap di jendela
Kalau tidak bundar, giginya tinggal dua
Apa yang terjadi? Kukira, orang-orang akan terbelah menjadi dua kategori. Kategori pertama, Peserta yang bernyanyi seperti melaksanakan tugas dan menyajikan wajah kaku tanpa ekspresi. Terkadang malah bingung tentang varian larik yang musti dinyanyikan.
Kategori kedua. Akan hadir ledakan tawa dari peserta. Karena tanpa disadari, peserta diajak kembali mengenang masa kanak-kanak. Mengingat kelucuan, keluguan atau mungkin kenangan yang tak penting di masa kecil melalui kedua lagu itu.
Sekilas, bisa dipastikan, jika kategori pertama mengalami masa kecil yang "lumayan" suram dan muram. Atau berangkat ke lokasi outbond dengan membawa masalah dari rumah! Sedangkan kategori kedua, malah sebaliknya. Mengalami masa kecil yang indah dan hangat.
Menurut Psikoanalisis Sigmund Freud, Ingatan masa kecil merupakan salah satu ingatan terpenting dan sangat berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian seseorang. Kemudian akan terpantul pada sikap perilaku dan tata nilai awal untuk bekalnya hingga dewasa.
Lagu adalah cara paling mudah dan acapkali dipakai orangtua. Tak hanya sebagai kegiatan menghibur dan pengantar tidur. Namun juga mengenalkan tentang alam, aneka benda, angka, huruf, bahkan sopan santun. Iya, kan?
Jadi, kukira tak ada salahnya untuk sesekali mengingat dan mengulang lagu anak-anak. Untuk bernostalgia dengan ingatan dan perasaan masa kecil. Setidaknya akan memberikan beberapa manfaat:
Pertama. Nostalgia tersebut akan mengantarkan kita kembali mengenang orang-orang terdekat dengan kita di masa kecil. Bisa keluarga inti, kakek dan nenek, guru dan teman TK - SD atau malah tetangga.
Kedua. Tanpa sadar, nostalgia itu akan menghadirkan rasa bangga terhadap diri sendiri, juga menambah percaya diri. Karena kita secara sadar membandingkan kondisi kita dulu semasa kecil dengan kondisi setelah dewasa.
Ketiga. Perasaan dan nostalgia, tak hanya sebagai refleksi diri dan menghibur psikis kita. Namun, juga menghadirkan ulang kehangatan masa kecil. Atau sebaliknya, Karena masa kecil yang pahit, hingga kita merasa optimis jika kondisi sekarang lebih baik dari masa lalu.
Sungguh disayangkan, jika orang dewasa kehilangan memori tentang bagaimana rasanya menjadi anak-anak. Semisal keseruan untuk pemenuhan rasa ingin tahu, dengan sibuk bertanya "Ini apa? Itu maksudnya apa? Kenapa bisa begitu?"
Atau rasa kagum melihat pelangi sesudah hujan. Merasa ngeri bercampur geli saat tahu katak itu, awalnya dari telur, kecebong, berudu hingga menjadi katak dewasa. Bisa juga keseruan menginjak bayangan kepala sendiri saat siang hari! Ahaaay...
Dan, ingatan itu bisa ditarik kembali ketika kita sering mengenang masa kecil. Termasuk dengan menyanyikan lagu anak-anak. Sayangnya, seperti cerita anak yang sukar dijumpai. Lagu anak-anak pun begitu. Yang ada lagu yang dinyanyikan oleh anak-anak.
Jejangan, hanya tukang odong-odong yang masih setia melestarikan lagu anak-anak? Entahlah!
Curup, 04.03.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H