Kedua. Perbedaan pola pikir yang jauh. Orangtua bisa saja memiliki pola asuh dan keinginan yang sama dengan anaknya. Namun orangtua tak mungkin menyeragamkan impian anak-anaknya.
Orangtua memiliki otoritas tertinggi "menyeimbangkan" kelebihan dan kekurangan dari anak-anaknya. Hingga tak ada anak yang tumbuh besar dengan sikap mental merasa diri seperti "bawang putih atau bawang merah".
Ketiga. Sulitnya saling memahami. Dua poin sebelumnya, komunikasi yang meregang dan perbedaan pola pikir yang jauh. Bisa saja menciptakan persaingan tak sehat, saling curiga, saling membenci. Malah, hal-hal kecil bisa menjadi masalah besar.
Apa yang bisa dilakukan orangtua?
Makan bersama keluarga adalah momen seru, mengasyikkan terkadang menyakitkan sekaligus memalukan. Sesungguhnya lokasi bisa di mana saja. Namun contoh paling ideal di meja makan.
Menjadi seru dan mengasyikkan karena semua angota keluarga bisa berkumpul bersama. Semakin dewasa, dengan segala keterbatasan ruang dan waktu, akan semakin jarang melakukan kegiatan tersebut, terkadang merindukannya! Iya, kan?
Kenapa menyakitkan dan memalukan? Terkadang "celetukan" di meja makan menjadi refleksi keseharian terhadap "kesalahan atau kekurangan" yang terjadi. Dan diketahui seluruh anggota keluarga.
Namun, aku juga sepakat dengan beberapa ahli yang menuliskan, meja makan memiliki banyak rahasia. Aku tulis beberapa, ya?
Pertama. Meja makan menjadi pelajaran awal sopan santun. Akan ada berbagai intruksi yang akhirnya menjadi tata nilai keluarga yang bermanfaat dalam pergaulan saat dewasa. Semisal:
"Habiskan makanan di mulut, baru bicara!"
"Makan dengan tangan kanan!"
"Biasakan makan jangan bersisa!"
"Makan jangan berbunyi (berkecap)!"
"Jangan ganggu kakakmu!"