Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Media Massa di Tengah Lesatan Media Sosial

10 Februari 2020   16:36 Diperbarui: 10 Februari 2020   17:38 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu jejak sejarah dari gerakan reformasi, adalah terbukanya kunci gerbang kebebasan pers. Bak lesatan anak panah dari busur yang meregang kencang sekian lama.

Lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang mengiringi UU No 39 tentang Hak Asasi Manusia, mengurangi sensitivitas insan pers dari kata "sensor" dan "breidel". Hal ini disambut secara suka ria bahkan cenderung euphoria.

Dalam teori klasik negara demokrasi. Pers menjadi kekuatan keempat yang berpihak kepada masyarakat, untuk mengimbangi dialektika tiga kekuatan yang umumnya berlaku di negara demokrasi. Kekuatan  eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pers diharapkan menjalankan 5 fungsi, pertama menyajikan informasi kepada masyarakat, kedua sebagai sarana pendidikan, ketiga, media hiburan, keempat, kontrol sosial untuk menjamin ada check and balancing terhadap kebijakan penguasa, kelima, sebagai lembaga ekonomi yang menjamin kemandirian pers itu sendiri.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Media Massa Di Tengah Lesatan Media Sosial

Sejak tahun 1999, Keberadaan dan pemberitaan media cetak dan media eletronik sebagai media massa secara kuantitas berkembang pesat. Sesiapapun, baik individu, kelompok atau organisasi berlomba menerbitkan ragam bentuk informasi.

Kemudian, hadir kekhawatiran dan kecemasan, akan timbul kekeliruan memaknai kebebasan pers. Maka digaungkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.

Di saat bersamaan, kemajuan teknologi informasi digital tak dapat dibendung. Ditandai dengan menjamurnya media sosial. Hingga setiap orang merasa bebas menjalankan fungsi pers versi masing-masing.

Tak perlu lagi mengikuti rute persyaratan dan pelatihan media. Tak terikat dengan nilai-nilai dan kode etik jurnalistik. Pokoknya memiliki media sosial? Unggah! Upload! Posting!

Seringkali masyarakat terjebak dengan anggapan media sosial sama dengan karya jurnalistik. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah citizen journalistic atau jurnalistik warga.

Akhirnya, orang-orang merasa susah membedakan mana yang media massa dan mana yang media sosial. Karena ada media massa "rasa" media sosial, atau media sosial "rasa" media massa.

Padahal, dalam beberapa literatur, setidaknya ada dua perbedaan antara media sosial dan media massa. Pada media sosial, masyarakat bebas memanfaatkan teknologi secara individu atau berkelompok. Bahkan sumbernya bisa direkayasa.

Pers sebagai media massa musti berbentuk lembaga atau perusahaan, berbadan hukum dan terikat dengan kode etik jurnalistik. Plus wartawan setidaknya harus menyigi sumber tepercaya dan menyajikan berita melalui rumusan 5W+1 H, yang acapkali terlewat di media sosial.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Peran atau Wajah Ganda Media Massa?

Dalam kajian sosiologi, media massa salah satu bentuk komunikasi secara massal yang menjadi bagian dari interaksi sosial.  

Komunikasi massa merupakan bentuk kegiatan komunikasi yang menggunakan media massa untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada orang banyak.

Saat ini, masyarakat susah dipisahkan dengan media massa, jika salah disebut sudah menjadi kebutuhan, karena perannya sebagai penyedia informasi. Apalagi masyarakat Indonesia yang majemuk dengan letak geografi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Ketergantungan masyarakat pada media massa, menjadikan media massa titik tolak ukuran opini, sikap juga prilaku masyarakat. Dengan demikian, media massa memiliki kemampuan menyeleksi atau mengarahkan perhatian masyarakat pada ide atau peristiwa tertentu sesuai keinginan media massa tersebut.

Jika kondisi begitu, pelan-pelan media massa tak lagi sekedar menyajikan informasi, namun juga mempengaruhi masyarakat tentang apa yang mereka butuhkan. Lebih dahsyat lagi, media massa mendominasi agenda masyarakat.  

Karena itu, peran media massa menjadi sangat penting. Dan butuh kecerdasan dalam berkomunikasi agar melahirkan konsekuensi positif pada semua alur komunikasi tersebut.

Sehingga, media massa memberi nilai kebermanfaatan sebagai agen perubahan (Agent of Change) dalam arti sesungguhnya. Bukan sebagai agen perusak (Agen of Destroyer) yang malah memicu masalah-masalah dalam masyarakat.

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Kisah Dulu dan Harapan...

Sependektahuku. Jurnalisme mengejar fakta. Kenapa bukan data? Karena data bisa direkayasa. Fakta susah buat direka. Berpijak dari itu, dulu aku mengenal beberapa istilah jurnalisme. Di antaranya :

Pertama. Jurnalisme Investigasi. Secara sederhana adalah penelusuran panjang dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan atau di sembunyikan dari publik atau bersifat rahasia. Biasanya, hal yang dianggap untuk kepentingan bersama yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.

Kedua, Jurnalisme Kuning. Ada kesengajaan mengesploitasi sesuatu untuk merebut perhatian dan minat pembaca, dengan muslihat yang membangkitkan emosi tanpa disertai fakta. Misal judul artikelnya, sengaja dibuat clickbait atau bombatis!

Ketiga, Jurnalisme Alkohol, Basis infonya tak berdasarkan kebenaran, tapi hanya isapan jempol. Apakah isu dan gosip termasuk? Entahlah!

Aku pribadi berharap, masih ada media massa yang melakukan pengawasan khususnya terhadap kekuasaan. Mewakili mata dan telinga masyarakat sebagai anjing penjaga (Watchdog). Agar tak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan monopoli informasi, politik, budaya juga ekonomi.

Apatah lagi, kondisi terkini di manapun termasuk Indonesia, pemilik media massa pun menjadi figur publik, dan bagian dari kekuasaan. Bisa saja ada "kemasan" informasi dari pemegang kekuasaan, malah mengundang kecurigaan masyarakat.

Jadi?

Tapi, aku percaya. Masih banyak teman-teman pers juga penggiat media sosial yang menginginkan pers tetap sebagai salah satu pilar demokrasi. Saluto buat teman-teman yang memilih jalan ini...

Selamat Hari Pers  Nasional!
Salam dariku

Curup, 10.02.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun