Salah satu jejak sejarah dari gerakan reformasi, adalah terbukanya kunci gerbang kebebasan pers. Bak lesatan anak panah dari busur yang meregang kencang sekian lama.
Lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang mengiringi UU No 39 tentang Hak Asasi Manusia, mengurangi sensitivitas insan pers dari kata "sensor" dan "breidel". Hal ini disambut secara suka ria bahkan cenderung euphoria.
Dalam teori klasik negara demokrasi. Pers menjadi kekuatan keempat yang berpihak kepada masyarakat, untuk mengimbangi dialektika tiga kekuatan yang umumnya berlaku di negara demokrasi. Kekuatan  eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pers diharapkan menjalankan 5 fungsi, pertama menyajikan informasi kepada masyarakat, kedua sebagai sarana pendidikan, ketiga, media hiburan, keempat, kontrol sosial untuk menjamin ada check and balancing terhadap kebijakan penguasa, kelima, sebagai lembaga ekonomi yang menjamin kemandirian pers itu sendiri.
Sejak tahun 1999, Keberadaan dan pemberitaan media cetak dan media eletronik sebagai media massa secara kuantitas berkembang pesat. Sesiapapun, baik individu, kelompok atau organisasi berlomba menerbitkan ragam bentuk informasi.
Kemudian, hadir kekhawatiran dan kecemasan, akan timbul kekeliruan memaknai kebebasan pers. Maka digaungkan kebebasan pers yang bertanggung jawab.
Di saat bersamaan, kemajuan teknologi informasi digital tak dapat dibendung. Ditandai dengan menjamurnya media sosial. Hingga setiap orang merasa bebas menjalankan fungsi pers versi masing-masing.
Tak perlu lagi mengikuti rute persyaratan dan pelatihan media. Tak terikat dengan nilai-nilai dan kode etik jurnalistik. Pokoknya memiliki media sosial? Unggah! Upload! Posting!
Seringkali masyarakat terjebak dengan anggapan media sosial sama dengan karya jurnalistik. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah citizen journalistic atau jurnalistik warga.
Akhirnya, orang-orang merasa susah membedakan mana yang media massa dan mana yang media sosial. Karena ada media massa "rasa" media sosial, atau media sosial "rasa" media massa.