Kedua. Kritik maksimal, pujian minimal. Naluriah manusia lebih antusia melihat kesalahan, tah? Apalagi orangtua. Karena harapan yang tinggi terhadap anak. Orangtua tak menoleransi kesalahan yang dilakukan terhadap anak. Ucapan keras menjurus kasar terlontar.
"Sekedar pasang tali sepatu saja, tak bisa?"
"Itu salah! Seharusnya..."
Aih, kalimat ini pasti bikin perih anak. Sialnya, ketika anak berhasil melakukan sesuai keinginan dari kritik orang tua. Tak ada pujian buat anak! Orang tua cenderung berfikir, "sudah seharusnya begitu!"
Ketiga, Keputusan tanpa diskusi, tak menghargai privasi. Dua hal ini, acapkali dijumpai. Orangtua merasa lebih tahu kebutuhan anak. Jadi tanpa perlu bertanya pada anak. Misal;
"Mulai besok ikut les bahasa Inggris!"
"Tapi, Les matematikan belum..."
"Aku orangtuamu! Lebih tahu..."
Eh, anak jug ingin memiliki ruang-ruang privasi sendiri. Hal sederhana, ada anak yang masuk ke kamar anaknya, tanpa mengetuk pintu. Atau "merazia" ponsel anaknya, dengan membaca pesan-pesan atau berfikir negatif pada anak. Akhirnya anak merasa dicurigai, tidak dipercaya. Dan seterusnya. Â Â
Keempat. Menerapkan standar pada anak, tapi tidak dirinya. Ini sering ditemui dari orangtua. Bisa jadi karena refleksi dari kegagalan masa lalu orangtua. Jadi keinginan orangtua "dititipkan" pada anak.
Karena merasa karir terhambat, tak menguasai bahasa asing. Maka, orangtua meminta anak ikut berbagai kursus agar menguasai bahasa inggris. Menuntut anak untuk untuk menghafal alquran sekian juz, lah orangtuanya malah tak bisa mengaji!
Ada lagi? Banyak contoh yang bisa diajukan. Bahwa orangtua, seringkali menerapkan standar ganda. Melarang anak, tapi diam-diam melakukan.
Jadi...
Akibanya memunculkan friksi, memicu terjadi konflik antara orangtua dan anak. Perselisihan dan pertikaian tersebut malah menghambat produktivitas. Bagi orangtua juga anak.