Saat sedang berjalan di trotoar, tiba-tiba terjadi tabrakan kendaraan bermotor. Â Apa yang kita dilakukan?
Golongan pertama, orang-orang yang akan berlari ke tempat kejadian. Berusaha membantu semampunya. Mungkin, mengangkat korban, membawa kendaraan ke pinggir jalan. Jika korban terlihat parah, akan ada orang yang mencegat kendaraan lain, agar segera membawa korban ke rumah sakit terdekat.
Golongan kedua, adalah orang-orang yang juga berlari ke tempat kejadian. Usai memenuhi rasa ingin tahu, mengambil satu atau dua gambar dengan ponsel. Kemudian diunggah ke media sosial, dengan kalimat pengantar, "Baru saja terjadi tabrakan dua motor di jalan ini. Motor rusak parah. Satu orang meninggal. Mohon doanya!"
Golongan ketiga, adalah orang-orang yang berpaling sejenak ke arah lokasi kejadian. Kemudian melanjutkan perjalanan, tanpa melakukan apapun. Walau mungkin di dalam hati berujar, "Makanya, hati-hati kalau berkendaraan!"
Aih, jangan marah, ya? Ini hanya rekayasa perilaku sebagai aksi dan reaksi. Penggolongan ini menurut kiramologiku, bisa benar dan bisa salah, kan?
Begitu juga yang kulihat, tentang aksi dan reaksi netizen yang Maha Benar atas segala kejadian. Bagaikan unit reaksi cepat. Aktivis beragam media sosial, menghujani linimasa tanpa jeda. Selalu saja ada "angle" kejadian yang menjadi trending topic.
Euforia dan Histeria di Dunia Maya versus Dunia Nyata
Enam tahun lalu, berita kemenangan Evan Dimas bersama Timnas U-19 asuhan Indra Sjafri, saat menjuarai AFF U-19 tahun 2013 disambut gegap gempita anak negeri. Euforia terjadi secara luar biasa. Apalagi keberhasilan itu didukung dengan penampilan yang ciamik.
Mulai dari Presiden, Panglima TNI, hingga jajaran pejabat di tingkat provinsi juga kabupaten berlomba memberikan apresiasi. Salah satu contohnya, punggawa timnas diberi peluang menjadi anggota TNI atau Polri.
Begitu juga dengan perayaan kemenangan Presiden Jokowi, usai ketetapan KPU pada pemilu 2014. Sekarang pun masih bisa dilihat jejak digitalnya. Aura kemenangan itu masih bisa dirasakan, hingga usai putusan Mahkamah Konstitusi hasil Pemilu 2019. Walau tak persis sama.
Banyak peristiwa yang bisa dijadikan contoh, yang memicu euforia! Biasanya adalah kejadian yang menyenangkan. Dan entah sejak kapan, kata histeria jamak digunakan pada hal-hal sebaliknya.
Di penghujung tahun 2019, ada histeria media massa dan media sosial, terhadap demontrasi mahasiswa. Dipicu lahirnya beragam undang-undang yang dianggap terburu-buru, isu utama adalah UU KPK yang baru. Aksi ini, diikuti oleh para pelajar, yang menjadi trending adalah "Anak STM".
Begitu juga dengan banjir yang melanda Jakarta. Walau semua orang tahu, hal ini adalah siklus tahunan. Namun histeria di berbagai media luar biasa. Terjadi pertikaian kata-kata, perang opini, serta adu telunjuk untuk menuduh atau membela.
Minggu ini, kembali terjadi histeria media massa dan media sosial. Isu sentralnya adalah OTT KPK terhadap komisioner KPU. Disinyalir, juga melibatkan elit partai pemenang Pemilu 2019. Pada prosesnya, ternyata ada "kendala" prosedural lanjutan dari OTT KPK tersebut.
Jamaah netizen kemudian diajak lagi merajut benang kusut. Dari hilir ke hulu kasus. Tentang perizinan dari Dewan Pengawas KPK dan aksi penggeledahan, tentang prosedur yang salah, tentang Dewan Pengawas yang dianggap tidak atau belum berfungsi, tentang UU KPK yang dianggap memandulkan pemberantasan korupsi, hingga rasa curiga terhadap produk hukum dari anggota DPR periode sebelumnya itu.
Terlepas, apakah hal itu by design atau murni aksi dan reaksi setiap orang atau kelompok. Hujan euforia dan histeria yang tercipta di media massa dan media sosial, memengaruhi komunikasi massa juga psikologi massa anak negeri.
Dampak negatifnya, seperti pembagian tiga golongan di atas. Anak negeri di akar rumput, yang tak ikut terlibat langsung dalam pertikaian kusut sengkarut itu. Tanpa sadar, akhirnya mudah terjebak di ranah konflik, saling curiga, dan tak percaya.
Pagi tadi, aku mendapatkan kiriman kisah inspiratif, tentang manajemen kecoa dari salah satu WAG. Kuanggap kisah ini memiliki korelasi dengan aksi dan reaksi pada perilaku seseorang terhadap satu kejadian. Aku bagikan saja ringkasannya, ya?
Diceritakan, dua orang wanita karier, anggaplah keduanya eksekutif muda, singgah di sebuah restoran yang lumayan ramai. Seperti biasa, keduanya memesan menu makanan dan minuman. Semua terlihat normal.
Namun ketenangan itu terusik, saat seekor kecoa hinggap di bahu salah seorangnya. Karena terkejut atau juga jijik dengan kecoa, maka wanita itu berdiri, berteriak tak jelas, bahkan melompat. Kedua tangannya sibuk berusaha menyingkirkan kecoa.
Reaksi wanita tersebut memancing dan menular pada orang-orang di sekitarnya. Akhirnya semakin banyak yang panik. Mungkin karena rasa ingin tahu atau latah berjemaah.
Kepanikan semakin meluas, ketika wanita itu berhasil mengusir kecoa dari tubuhnya. Namun hinggap pada pengunjung wanita yang lainnya. Drama baru kembali terjadi, semua pengunjung terlibat saling membantu juga saling mendorong. Seisi restoran sibuk dan suasana riuh. Tersangka utama adalah seekor kecoa.
Hingga kemudian, kecoa tersebut hinggap di tubuh seorang pengunjung. Sesaat mengamati gerak gerik kecoa, dengan tenang ia berhasil menangkap kecoa itu dan menyerahkannya pada pelayan restoran. Kepanikan selesai. Namun, suasana restoran tak lagi sama seperti sebelum peristiwa kecoa itu terjadi.
Dan dipaparkan nilai yang terkandung dalam kisah ini.
Pertama. Saat wanita itu mengalami kepanikan yang menjadi histeria. Memengaruhi lingkungan sekitar. Berbeda sikap dengan pengunjung yang berhasil menangkap kecoa tersebut yang mampu bersikap tenang.
Dari perbedaan aksi dan reaksi. Esensi permasalahan bukan pada kecoa. Tapi pada ketidakmampuan wanita tersebut saat menghadapi kecoa. Sehingga membuat suasana restoran jadi kacau.
Kedua. Siapapun sepakat kecoa dianggap binatang menjijikkan. Dan, kecoa akan tetap begitu selamanya. Kecuali pada dongeng anak-anak atau pada film animasi. Kecoa tak akan pernah bisa diubah menjadi binatang yang lucu dan menggemaskan.
Ada gangguan psikologi, bahwa wanita tersebut merasa terganggu. Sesungguhnya bukan tentang kecoa yang mengganggu. Tapi kegagalan wanita itu mengatasi gangguan yang disebabkan kecoa.
Jadi? Reaksi dituntun secara naluriah, sedangkan tanggapan (respon) sudah melalui pemikiran.
Akhirnya...
Kukira, tak ada kehidupan yang tanpa masalah, kan? Dan, masalah akan tetap saja masalah. Bahkan bisa saja akan menjadi bertambah, jika kita keliru bereaksi dan melakukan aksi berlebihan dalam menanggapi.
Sesuatu yang dilakukan dengan euforia dan histeria dalam menyikapi sesuatu. Terkadang berakibat buruk. Baik bagi diri sendiri atau orang lain. Ketenangan dan menahan diri, agar tidak bereaksi berlebihan dari suatu masalah atau kejadian, bahkan menghadirkan kebahagiaan.
Kalau bilang ahli hikmah,
"Orang bahagia bukan karena semua berjalan dengan benar dalam kehidupan. Dia bahagia, karena sikapnya dalam menanggapi sesuatu di kehidupannya benar!"
Curup, 16.01.2020
zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H