Namun, adakalanya dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dan rumit. Hingga orangtua dan anak memutuskan melupakan hal yang berkaitan dengan sekolah. Faktor ekonomi, pengaruh lingkungan, hingga tuntutan kehidupan jamak ditemui sebagai alasan.
'Karena keadaan!" adalah kalimat lugas yang bisa diujarkan. Walau dalam hati, orangtua masih berkeinginan, anaknya bisa menjalankan kehidupan dengan kebahagiaan. Mempunyai pekerjaan mapan, hingga menikah dan memiliki keluarga idaman.
Walau tertatih, namun mesti melatih diri untuk menjalani lembaga pendidikan terbesar yaitu"Universitas Kehidupan." Bahwa kehidupan tak hanya ditentukan oleh pendidikan formal. Hingga terpaksa menjalankan kalimat Roem Topatimasang :
Setiap tempat adalah sekolah,
setiap orang adalah guru, dan
setiap buku adalah ilmu.
Kalimat di atas, kukira upaya berdamai dengan keadaan dan aral melintang yang ditemui dalam kehidupan. Untuk menetralisir keseragaman pikiran yang ada sekarang. Seragam?
Ada keseragaman kebahagiaan orangtua, ketika melihat anaknya ke sekolah mengenakan baju seragam. Memiliki seragam impian, jika anaknya bersekolah dengan nilai tinggi atau rangking. Seragam keinginan, anaknya mendapatkan pekerjaan. Seragam ini, seragam itu. Terus begitu, kan?
Mungkin butuh waktu untuk menggeser cara berpikir. Bahwa anak tak lagi sebagai kertas kosong, atau rak perpustakaan, di mana ilmu pengetahuan itu dicurahkan, dituliskan, disimpan. Begitu juga sekolah, bukanlah sebuah ruang. Di mana pengetahuan, kebenaran dan pemahaman itu terjadi.
Ketika, secara terus menerus dilakukan upaya menggali nilai pembelajaran dan pengalaman. Maka setiap orang akan memaknai keinginan dalam hidupnya.
Curup, 15.01.2020