Pertanyaan anak yang diabaikan. Anak yang dilabeli cerewet. Juga, pemaksaan anak untuk belajar materi yang dianggap penting orangtua. Juga menentukan cara belajar yang harus dilakukan. Tuh, kan?
Aku percaya. Anak adalah pembelajar alami yang selalu tertarik pada hal-hal yang ada di sekitarnya. Semua kegiatan, bisa dijadikan pembelajaran. Ketika main game, Jalan-jalan sore, kegiatan menanam pohon, memancing atau kegiatan alam lainnya.
Dalam percakapan di WAG itu. Salah satu kuncinya terletak pada proses refleksi. Acapkali, proses belajar sebagai satu kegiatan yang sekedar dijalankan. Padahal refleksi menjadi pembeda dan penanda proses belajar. Karena refleksi membangkitkan kesadaran.
Ketika mengajak anak menjenguk teman sekelas yang sakit. Kemudian proses kunjungan itu dieksplorasi dan guru mengajak melakukan refleksi. Malah melebihi pelajaran moral yang ada di buku teks pelajaran.
Makna atau pemaknaan merupakan pertemuan antara teks dengan realitas subjektif (pengalaman, pengetahuan, rujukan, kebutuhan dan kepentingan) sang pemakna.
Mungkin saja, saat pulang ke rumah. Ketika anak bercerita tentang kegiatan di sekolah, orangtua memancing dan membimbing anak melakukan refleksi. Melalui proses refleksi, kita dan anak-anak kita akan belajar menjalani hidup dengan sadar (mindful).
Tak ada salahnya. Jika guru dan orangtua. Tak hanya memberikan materi dan bahan ajar yang dianggap penting bagi anak. Tapi, tak lupa untuk melakukan refleksi dan membimbing anak belajar melakukan refleksi.
Kukira, esensi dari Merdeka Belajar yang sekarang jamak digaungkan, adalah bagaimana "membantu" anak memilih cara belajar dan serta mampu menemukan pembelajaran dengan cara mereka sendiri. Agar tak terjebak pada kalimat di bawah ini.
"Problem belajar pada anak mulai terjadi, saat orang dewasa menentukan apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara belajar anak."
Curup, 14.01.2020