Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andai Gotong Royong Dihitung Kekayaan Negara, "Bersatu Kita Utuh, Bercerai Kita Teduh!"

7 Januari 2020   17:54 Diperbarui: 7 Januari 2020   18:02 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulai remaja hingga masa-masa bujangan tingting. Nilai gotong royong itu mulai meluas, tak hanya di sekolah, tapi sudah ke masyarakat walau dalam skala kecil. Semisal sambil begadang menghias rumah teman yang akan ulang tahun atau yang akan menikah. Momen itu menjadi ajang melatih kreatifitas dan kebersamaan.

Setelah berkeluarga. Level gotong-royongnya meningkat. Saat tetangga mendapat musibah, tanpa sadar ada tanggungjawab moral dan tanggungjawab sosial. Mesti menghadiri takziah, ikut membantu menggali kubur, atau apa saja yang dinilai bisa meringankan beban ahli musibah.

Tak berbeda jauh. Jika ada hajatan pernikahan tetangga. Walau bukan tuan rumah, akan selalu ada upaya meringankan dan ikutan sibuk berhari-hari membantu. Apakah sekedar merelakan halaman rumah untuk dipasang tenda atau tempat parkir, tempat menitip barang atau bahkan tempat menginap sanak saudara sahibul hajat. Ada,kan?

sumber gambar : satelitpost.com/
sumber gambar : satelitpost.com/

Ketika Gotong Royong Mengalami Pergeseran Makna

Seiring pergerakan generasi milenial yang serba digital, instan dan cenderung individual. Gotong royong yang awalnya diartikan sebagai "bekerja bersama", juga bergeser makna.  

Bisa saja dengan alasan biar praktis, agar tak merepotkan orang lain, atau apalah sebutannya. Pepatah "biar lambat, asal selamat" berganti dengan "asal cepat dan selamat, kenapa tidak?"

Aku beri contoh. Dulu, saat sudah ujarkan akan menikah. Maka segala urusan yang berkaitan dengan pernikahan, menjadi domain orangtua dan tokoh adat istiadat di tempat tinggal. Tugas calon mempelai, menerima dan menjalani apa adanya.

Sekarang? Segala hal diurus sama calon pengantin. Mulai dari pakaian, menentukan tempat atau gedung resepsi pernikahan, pemilihan ragam menu, menentukan tamu yang diundang hingga buah tangan untuk undangan. Orangtua bermodal kata setuju atau berfungsi jika berkaitan dengan seremonial adat atau prosesi agama. Bahkan mungkin,  ada orangtua yang baru anaknya akan menikah, beberapa hari menjelang hari H.

Makna gotong royong dalam hajatan pernikahan saat ini, bergeser bukan pada bantuan tenaga, atau membawa seekor ayam, secupak beras dan dua butir kelapa. Tapi amplop dengan sejumlah uang, bahkan ada arisan pernikahan. Siapa menyumbang apa, atau bertanggung jawab terhadap apa?

Pada kasus seperti ini. Gotong royong dimaknai dengan "membantu" bukan "bekerja bersama-sama". Jangankan tetangga terdekat. Bahkan saudara sendiri, terkadang hadir dan berperan sebagai tamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun