"Sikap yang tidak bijak, Saat terjadi bencana banjir, menyikapinya dengan menyigi kesalahan dari sebuah kebijakan. Â Karena sependek pemahaman saya, banjir dan longsor merupakan bencana yang tidak lepas dari kesalahan manusia. Baik individu maupun pembuat kebijakan."
Narasi di atas, kuambil dari status salah satu temanku malam tadi di facebook. Bisa jadi, merasa capek, bosan hingga cenderung muak sampai tumpah-tumpah. Ketika membaca seliweran tanggapan yang dianggap nyinyir berkaitan banjir. Khususnya yang melanda Ibu kota Jakarta.
Kukira, hal ini juga dialami oleh banyak pemilik media sosial. Di luar konten dan konteks serta afiliasi politik, akupun menemukan narasi-narasi "ajaib", sebagai pengganti jari telunjuk! Arahnya, tentu saja gugatan pada sikap penguasa dan pemangku kebijakan.
Aku sepakat, harus ada kebebasan mengekpresikan satu fenomena yang terjadi. Apakah melalui tulisan, ulasan atau komentar. Itu hak masing-masing. Namun, menurut hematku, alangkah eloknya membangun narasi yang bermakna simpati atau empati.
Tunjukkan Empati, Jika Tak Mampu Memberi
Saat malam pergantian tahun, aku sempat berkomunikasi dengan salah seorang Kompasianer, Mbak Leya Cattleya. Awalnya hanya ingin menyapa dan ucapkan selamat tahun baru. Lama dan nyaris dini hari, baru chat-ku dibalas.
Tak kuduga, Selain permohonan maaf terlambat membalas, beliau menuliskan. Jika sedang membantu ibunda yang sudah sepuh, untuk dipindahkan ke lantai dua. Karena rumah beliau di kawasan Jakarta Timur terkena dampak banjir.
Biasanya kalau chat saling berbalas dengan guyonan renyah. Dini hari itu, aku kehilangan topik pembicaraan. Secara kapasitas, pengetahuan Mbak Leya lebih mumpuni dan aku percaya beliau mampu mengatasi situasi itu.Â
Tak lagi ada kalimat lain. Kecuali ucapan, "semoga selalu sehat dan ikut prihatin serta teriring doa."
Pagi kemarin di WAG, juga Kompasianer sekaligus seorang guru Mbak Erina Purba yang tinggal di Bekasi. Menulis kesedihannya, mendengar cerita dari siswa.Â
Karena buku pelajaran mereka basah dan hancur terkena banjir. Tanggapan anggota grup juga luarbiasa. Setiap anggota menuliskan rasa simpati, empati juga doa.
Hei! Ungkapan rasa dan doa itu, tak menyelesaikan masalah banjir, Bro! Iya. Setidaknya kita bukan menambah atau malah menjadi bagian dari masalah itu, kan?
Menjadikan Media Sosial sebagai Lahan Aksi Sosial
Menurutku, ada pilihan-pilihan menarik bagi pemilik media sosial atau teman-teman penulis. Dibandingkan sibuk membangun narasi yang tanpa sadar, menjauhkan diri dari kesan positif.
Pertama, Mendaftarkan Diri Jadi Relawan.
Jika tinggal di sekitar daerah terdampak banjir. Tak ada salahnya melakukan pilihan ini, kan? Tentu saja sesuai kapasitas masing-masing. Bergabung menjadi relawan, melakukan aksi bersama untuk sesama, itu hal yang luarbiasa. Jika mampu, kenapa tidak?
Kedua. Memberi Informasi Akurat Pihak yang Terdampak.
Menjadi relawan terkendala waktu? Ada perbedaan antara meluangkan waktu dan menunggu waktu luang, tah? Tapi ada hal lain yang bisa dilakukan, bahkan terkadang memudahkan proses penanggulangan pihak terdampak.
Semisal membantu mencari dan membagikan informasi akurat, tentang kondisi daerah terdampak, jumlah penyintas (prioritas para lansia, anak dan balita atau ibu hamil), kebutuhan pokok yang diperlukan, atau tindakan apa saja yang mesti dilakukan oleh pengemban tugas atau relawan..
Ketiga, Memberikan Info Lembaga Sosial  atau Lakukan Aksi Mandiri
Jika mampu menyumbang secara pribadi itu lebih baik. Namun jika tidak, bisa saja membagikan profil lembaga sosial yang terlibat langsung dalam penanggulangan bencana, kan? Bisa saja nomor rekening agar orang lain ikut menyumbang, atau mengajak teman, jiran tetangga juga teman-teman di media sosial untuk menghimpun ragam logistik, kemudian diantarkan ke posko terdekat.
Ketiga hal itu, bisa menjadi pilihan arif setiap orang. Tak peduli apakah publik figur atau orang-orang yang tergusur. Jika ketiga hal itu, tak bisa dilakukan. Dukungan dengan berdoa agar bencana segera reda, semua yang terdampak bisa kembali beraktifitas seperti semula. Kukira, pilihan yang bijaksana.
Akhirnya...
"Orang lapar, tak butuh ditunjukkan cara memasak yang baik atau resep jitu cara menikmati makanan! Beri yang dibutuhkan. Sesederhana itu."
Aku masih percaya, setiap orang memiliki reaksi itu, karena berharap semua berjalan baik dan menginginkan yang terbaik. Namun monggo tak terburu-buru meletuskan pemikiran masing-masing.Â
Butuh ketepatan hitungan dan jeda waktu, agar pemikiran itu tak segera berlalu. Bagiku, aib bagi penembak jitu salah sasaran.
Mungkin nanti, ketika bencana sudah berlalu. Kehidupan perlahan pulih normal, para penyintas mampu kembali menjalankan rutinitas seperti biasa. Temui dan ajak diskusi para penguasa atau pemangku kebijakan.
Silakan membahas dan melakukan koreksi, hal apa dari kebijakan itu yang dianggap keliru atau mesti dibenahi. Mulai dari Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati hingga pejabat di kelurahan sampai RT. Monggo!
Pilihanku? Jika jemari anakku terluka, karena memainkan pisau. Aku lebih memilih mengobati lukanya terlebih dahulu. Baru kemudian menjelaskan sebab dan akibat jika bermain pisau tak hati-hati.Â
Sambil mengkoreksi diri, bisa saja salahku, kenapa meletakkan pisau sembarangan, hingga terjangkau oleh anakku.
Begitulah! Tulisan ini hanya refleksiku. Mohon maaf jika tak berkenan. Semoga kita semua bisa melatih diri, menjadi Masyarakat Tangguh Bencana.
Curup. 04.01.2020
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H