"Aku..."
Kembali, waktu terpasung sunyi. Membiarkan hati mengembara, menjelajahi ruang-ruang luka. Tempat persemaian benih airmata. Saat ingin kudengar satu makna berwujud kata. Cinta.
Berkali dan selalu terhenti. Kau lebih memilih bening butiran airmata mewakili. Dan aku mengerti. Tak perlu menunggu jawabmu untukku.
Entah sampai bila, aku harus menyimpan tanya. Tentang rasa yang tak ingin terpenjara.
"Aku perempuan! Tak bisa..."
Bagimu, menyusun kata sesulit marakit tatanan bahasa. Menemukan anak-anak kalimat, hingga berhimpun dalam pelukan padu induk kalimat yang hangat.
Bagiku, menunggu jawabmu laksana merajah pelangi di kegelapan malam. Tak akan kutemukan, kecuali aroma diam. Dan terdiam.
Aku tak mengerti, berapa tinggi dinding yang menghalangi. Hingga untaian kata tercekat di tenggorokanmu. Seperti tak peduliku pada keinginan untuk memilikimu.
"Kau percaya, kan?"
Kurasakan kehangatan mengusir ruang hampa di dada. Mengusik debu-debu tanya di jiwa. Tak lagi ada suara menemani udara yang turut membisu. Hanya garis tipis senyummu, hadir menghentikan bulir mata air di matamu.
Kau memilih bersembunyi di antara semburat merah rautmu. Ketika wajahmu yang tertuduk memandang erat genggam jemariku.
Kau ingin kutelan tanya dalam kubangan lupa.
Curup. 03.01.2019
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H