Aku ingin bercerita tentang kau, aku dan kita yang tak usai. Tanpa perlu aku bertanya, "Kau di mana?"
Sebelum awan keluh merajah janji, dan merajam dinding mimpi.
Aku memulai pagi, tanpa sapaan mentari yang menipu hari dengan kabut sepi. Begitupun embun! Tak lagi menyelimuti dedaunan rimbun. Seperti titik tunggu kedatangan dan kepergianmu. Dulu.
Tak henti. Di setiap laju hari, Aku menggali jenuh. Kususun satu-persatu, menjadi sekat-sekat bisu sebagai tempat berteduh. Pun sebagai ruang penyimpanan prasasti benih-benih kisruh.
Berkali, kuarsir bayanganmu di pelepah ingatanku. Pun berkali airmata membasuhnya tanpa memberitahu. Berkali, kurajut kenangan tentang senyummu di langit biru. Dan lagi, sekat-sekat pilu mengoyak genangan rindu untukmu.
Sejauh perjalanan tunggu, akan kulewati kisah itu.
Kusaksikan derai tawa yang mewarnai riuh dunia. Terlepas dari angan yang mereguk butiran bahagia. Terlontar dari ingin yang menemukan asa. Dan, terhenti! Ketika terhalang rumpun ilalang rasa berselaput kecewa.
Akupun menemukan gurat kepedihan, yang tersusun rapi di lembaran-lembaran suci airmata. Tersembunyi di reranting jiwa pada lorong sepi rahasia yang paling rahasia. Tanpa kata tanya, tanpa ada dan tiada.
Aku terlupa! Seberapa ingin kunikmati tawa darimu. Namun tak pernah ada. Akupun menghapus cara, seberapa ingin membalut pedihmu. Namun tak akan lagi sama.
Kau dan aku, telah menjadi kita yang berbeda. Ketika tak mampu menghentikan laju waktu, terbiar berlalu dan menipu.
Di pintu kesah kisah, aku menanti. Kau datang kembali atau selamanya pergi. Tak peduli.
Curup, 22.12. 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H