Hari itu jumat. Seperti biasa, kuajak si Sulung ke masjid Aljihad. Saat itu, usianya belum menginjak tiga tahun. Bersebab masih suka berlarian, dan agar tak mengganggu jamaah lain, maka kupilih mengajak si Sulung shalat di lantai dua.
Karena ada salah satu jamaah yang meninggal. Usai sholat jumat, dan melakukan sholat jenazah. Kuajak si Sulung ikut ke kuburan, dan melihat prosesi penguburan itu di barisan terdepan. Tanpa suara dan tanpa tanya, si Sulung memperhatikan semuanya.
"Kenapa dimasukkan ke tanah,Yah?"
Dengan pilihan kata terbatas, lahirlah pertanyaan dari si Sulung. Setelah pulang, dan sampai di pintu rumah, Wajah dan tatapan itu menunggu jawabanku. Maka kupilih jawaban paling gampang. Semua yang hidup akan diperlakukan seperti itu. Termasuk aku, ayahnya. Tak lagi ada pertanyaan. Tersamar, kudengar ucapan dari mulut mungilnya, "kasihan!"
"Kenapa kasihan, Nak?"
Kejaran pertanyaanku, diabaikan. Tak ada jawaban dari si Sulung. Sudah berlari ke dalam rumah mencari ibunya.
***
Suatu sore. Pakde-nya si Sulung singgah ke rumah. Ternyata baru pulang dari pasar, dan membeli ikan mas yang masih hidup. Sejak kedatangan Pakde, si Sulung betah memperhatikan dan tak pernah jauh dari ikan mas yang ada di kantong belanjaan Pakde-nya. Ia sibuk memperhatikan bentuk sirip dan ekor yang panjang, terlihat mirip ikan hias yang sering ditonton di televisi.
Melihat si Sulung yang antusias dengan ikan yang dibawa. Sebelum pulang, oleh Pakde ditinggalkan dua ekor Ikan Mas yang dipilih sendiri oleh si Sulung. Warna hitam dan  kuning.
Tak ada akuarium di rumah. Maka dua ekor ikan itu sementara diletakkan di dalam baskom kecil. Dan, si Sulung sibuk bereksperimen! Berkali, menangkap, memegang dan melepas dua ekor ikan itu. Atau memutar secara acak, air di baskom seperti pusaran.
Akibatnya, menjelang maghrib. Ikan mas berwarna hitam, mati. Butuh diskusi panjang disertai bujukan antara ibunya dan si Sulung. Â Akhirnya, ikan berwarna kuning dimasukkan ke dalam bak mandi. Si hitam? Digoreng dan dijadikan lauk makan malam si Sulung.