Nyaris dua jam, langit menyajikan prosesi alam. Arakan awan hitam yang bergulung menjadi mendung. Melepaskan satu-persatu butiran hujan, melahirkan nyanyian sepi semesta. Menyapa penghuni jagat raya.
Pelangi seperti  jembatan, menjadi jalur penghubung perpindahan suasana. Ketika sinar matahari kembali mengetuk pintu hari. Untuk melaksanakan tugas yang sempat tertunda. Satu jam menjelang senja datang bertamu di beranda. Menemani kau, aku dan airmatamu.
"Satu tahun? Tak ada pilihan lain?"
***
Seperti pergantian hari yang acapkali tiba tanpa aba-aba. Begitu juga dengan rasa yang dimiliki manusia. Perubahan rasa adalah rahasia milik sang pencipta. Tak seperti perkiraan cuaca, tekadang tanpa warna, penuh dinamika. Bahkan lesatan perubahan rasa itu, mampu melebihi kecepatan cahaya.
Mungkin manusia belum menemukan alasan-alasan yang paling masuk akal. Atau tak mampu mencari, mendapatkan dan menyusun rangkaian kata-kata untuk menerjemahkan kehadiran sebuah rasa. Hingga memilih berlindung pada ungkapan rasa tak perlu logika.
Namun, manusia membutuhkan logika untuk membangun asa. Agar rancangan perjalanan masa depan, tak melewati jalan terjal berliku. Dan, tak dipenuhi ruang-ruang kosong yang berdebu.
Ketika pertempuran rasa bermuara pada perwujudan sebuah asa. Maka, manusia membutuhkan alam semesta sebagai sekutu. Agar rasa mampu bersatu dalam ikatan erat asa, yang menciptakan kekuatan cinta.
Adalah suatu kebohongan, jika menafikan kekuatan cinta sebagai senjata utama untuk menaklukkan kefanaan dunia. Juga adalah kebohongan, jika menganggap cinta adalah satu-satunya senjata untuk melakukan itu.
Butuh tekad baja dan daya tahan yag luarbiasa. Agar asa yang mengkristal dari perpaduan rasa, terangkum utuh dalam satu pelukan cinta.
***