"Aku tidur dulu, Mas!"
"Hei, Bumil! Kenapa di kening?"
Permintaan sia-sia! Kukira, sudah menjadi ritual wajib. Nyaris setiap malam. Adegan itu selalu berulang. Andini mengerti. Aku butuh ruang sepi untuk menyendiri. Belum pernah ada benih-benih perselisihan atau riak-riak pertengkaran karena itu. Memasuki tahun kedua perkawinan.
***
"Baik-baik saja, kan?"
Senyuman dan anggukkan perlahan adalah jawaban. Wajah lelah Andini terhampar jelas. Sore itu adalah pemeriksaan rutin, memasuki tujuh bulan usia kehamilan.
Hening menemani perjalanan pulang ke rumah. Tak bicara, Andini segera masuk ke kamar tidur. Membiarkanku memasukkan motor ke kamar tamu. Tiga tahun masa pacaran dan nyaris dua tahun perkawinan. Aku belajar banyak tentang perubahan sikap Andini. Termasuk sore itu.
Andini segera mengubah posisinya membelakangiku. Saat aku duduk di tempat tidur. Beberapa saat, kamar itu dikuasai hening. Tak ada reaksi lain. Hanya gerak perlahan dari bahu itu, bercerita banyak untukku.
"Gak sopan, pada suami berikan punggung!"
Berhasil! Perlahan, Andini berbalik badan. Kusaksikan bulir bening itu, betah bertamu di sudut matanya. Naluriku, mengajak jemari tangan kananku, mengusap linangan airmata itu. Namun aku tahu, tak mungkin menghentikan deras alirannya. Butuh waktu untuk itu.
***