Langit pernah memberi kabar. Tentang kelahiran manusia-manusia istimewa. Melalui tanda-tanda yang disajikan secara istimewa. Dan hanya mampu dimaknai jika memiliki hal yang sama. Begitu juga dirimu.
"Ayah!"
Hanya satu kata! Lontaran sayup yang keluar dari bibir mungilmu. Belum genap dua tahun usiamu. Cukup meluluhlantakkan pahatan-pahatan kelelahan, yang mulai terukir kaku di garis wajahku. Dan, kau takkan mengerti itu.
"Lagi, Nak?"
"Ayaaah..."
***
Seperti angin yang mengajak selimut samudera berbentuk hempasan gelombang, gulungan buih ombak hingga bersisa riak-riak. Untuk bercengkrama dengan hamparan pasir-pasir putih, atau terjal batu karang yang setia menunggu di tepian pantai. Mengungkap tabir rahasia samudera yang paling dalam. Seperti kau dan aku. Tanpa angin.
Kau adalah samudera itu. Kehadiranmu, mampu mengganti airmata kesedihan dengan airmata kebahagian. Mampu melenyapkan kegelisahan, dan melahirkan benih-benih harapan di masa depan. Menghapus bekas-bekas luka yang belum sembuh, kembali utuh.
Butuh banyak waktu yang melaju tanpa bisa kuhentikan, hanya untuk mengenalmu. Namun, waktu begitu saja berlalu. Ia tega menipuku. Pun, butuh banyak ruang persembunyian yang sengaja harus diciptakan, agar kau tak menjauh dan menghindar dariku.
Pernah kuputuskan, menyelami samudera. Menyentuh kedalaman rasa hingga ke dasar rela. Namun yang kutemui, kita adalah dua pribadi yang berbeda. Berdua, kita sibuk merajah keterasingan cara. Mencoba menyatukan segala hal yang dianggap sama. Namun berakhir putus asa dan sia-sia.
Hingga kucoba merenangi samuderamu. Kembali, waktu tak pernah memberi tahu. Aku terlalu sibuk mengejar keinginan untuk memangkas akhir jarak batas. Seiring perjalanan matahari mengganti pertukaran hari, samuderamu semakin luas tak berbatas. Dan aku terlambat merenungi perubahan itu. Juga keberadaanmu.