Pagi itu, jum'at. Aku duduk di beranda lantai dua. Tak ada jadual untuk mengajar. Satu minggu lagi ujian semester. Aku mesti bersiap menyusun naskah soal ujian. Tak aneh, jika berserakan buku paket di sekitarku.
Amak muncul dari dalam rumah. Membawa satu ember berisi air. Kukira ingin menyirami tanaman. Segera kurapikan bahan ajarku, agar tak basah.
"Berserakan!"
"Haha..."
"Kenapa tidak..."
"Lagi buat soal! Seminggu lagi semesteran, Mak!"
"Hah! Uang sekolah adikmu belum..."
"Sudah lunas! Tinggal ujian, Mak"
"Eh? Siapa yang..."
"Bendahara yang bilang!"
"Yang bayar?"
"Lupa nanya!"
Amak terdiam. Segera sibuk menyiram dan membersihkan tanaman. Aku kembali menulis. Naskah soal harus diserahkan besok. Agar bisa diketik dan digandakan oleh pihak sekolah.
"Sudah jam sembilan, kan?"
"Iya!"
"Biasanya sudah datang!"
"Hah! Siapa?"
"Nunik?"
"Oooh..."
"Kalian bertengkar?"
"Untuk apa? Dapatkannya susah, Mak!"
"Nunik hari jum'at. Juga libur ngajar, kan?"
"Mungkin juga lagi sibuk bikin soal, Mak! Kan, dua sekolah?"
"Oh! Ujiannya serentak?"
"Bisa jadi!"
Seperti Nunik, aku mengajar pada tiga sekolah. Dengan mata pelajaran dan tingkatan berbeda. Kesesuaian kurikulum, ketuntasan materi ajar juga kemampuan siswa. Menjadi rambu bagiku saat membuat soal.
Walaupun bukan duniaku saat kuliah. Dinamika dunia pendidikan menimbulkan gairah baru. Itu kutemukan, saat berinteraksi dengan siswa yang berbeda latar belakang.
Amak pun sudah sejak tadi pergi. Aku sendiri di beranda. Fokus membaca materi dan menulis soal serta kunci jawaban. Tak terpengaruh bising suara kendaraan, yang melewati jalan depan rumah.
Tapi, tidak dari aroma khas hasil indera penciumanku. Aku segera menoleh ke pintu beranda. Kau tersenyum. Lebih tepatnya menahan tawa. Saat aku tahu hadirmu.
Kau bergerak pelan. Sesuai kebiasaan, kau ajak bertukar salam. Ajukan tangan kananku ke dahimu. Tangan kiriku usap pelan kepalamu. Segera kau rapikan buku paket yang berserakan di sekitarku. Agar kau bisa duduk.
"Udah lama?"
"Lima belas menit!"
"Bohong, kan?"
"Haha..."
"Sudah ketemu Amak?"
"Udah! Tapi Ngobrol sebentar. Amak mau ke pasar!"
"Syukurlah! Jadi gak bohong. Nik datang dari tadi?"
"Gak!"
"Tadi ditanya Amak!"
"Nanya apa?"
"Mungkin Amak rindu!"
Kau tertawa. Matamu tak lepas menatapku. Lagi, kuusap kepalamu. Kau kembali sibuk merapikan jilbabmu.
"Mas gak rindu?"
"Gak!"
"Ya udah! Nik pulang!"
"Mas cuma ketularan rindu Amak!"
"Amak bilang apa?""
"Kenapa menantu belum datang!"
"Bohong! Gak mungkin Amak bilang pakai kata menantu begitu!"
"Iya! Mas tambahin. Biar syahdu!"
"Haha..."
Tawa renyahmu pagi itu secerah mentari. Kau terbiasa mendengar kata-kataku, tapi kau tak pernah siap bersikap. Terkadang tangisan diiringi airmata. Bisa juga tersipu atau malu, diakhiri dengan pukulan dan cubitan.
"Tadi, Nik beres-beres rumah dulu, Mas!"
"Mas bilang. Nik juga sibuk buat soal!"
"Sok tahu!"
"Sejak dulu, kan?"
"Haha..."
"Kenapa pakai acara ngintip?"
"Bilang Amak. Mamas sibuk! Nik diam-diam mau..."
"Kagetkan Mas?"
"Gak jadi! Kan, Ketahuan?"
"Haha..."
"Kok Mas tahu? Padahal Nik..."
"Rahasia Tuhan!"
get married | those three words | just the way I am | meeting you was fate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H