Hampir pukul lima sore. Aku di dapur temani amak. Bulan ramadhan selalu membawa perubahan. Pola makan, waktu tidur juga kegiatan Amak. Biasanya sejak pagi sudah berjibaku di dapur. Saat ramadhan berganti sore. Memasak untuk berbuka puasa, sekalian untuk sahur.
"Tadi, Nunik pulang jam berapa?"
"Jam tiga! Amak tidur. Saat Nunik mau pamit!"
"Kenapa tak diantar?"
Amak menatapku. Tapi tahu, pertanyaan itu tak perlu jawaban. Kuraih pisau. Mulai mengupas kulit kentang. Amak nyalakan kompor. Sepertinya akan menggoreng kerupuk.
"Nangis lagi?"
"Hah?"
"Nunik?"
"Iya!"
"Akhir-akhir ini. Setiap datang. Pasti menangis!"
Aku terkejut. Amak tak lagi menatapku. Tangan amak meraih sejumput kerupuk mentah. Dimasukkan ke kuali berisi minyak goreng panas. Aku diam. Tak biasanya, kau jadi topik pembicaraan aku dan Amak.
"Jaga perasaan Nunik! Amak tahu, jika seperti..."
"Gak usah dipikir, Mak!"
"Amak juga punya anak gadis!"
"Iya! Tapi urusan Nunik, biar..."
"Hei! Dipotong dua saja! Kalau empat terlalu kecil!"
Aku tertawa. Khas Amak. Seserius apapun pembicaraan. Konsentrasi bekerja tak hilang. Apalagi urusan dapur. Tanganku ikuti perintah Amak. Mengupas dan memotong kentang menjadi dua bagian.
"Dengarkan! Amak tak pernah ajarimu sakiti perempuan!"
"Iya!"
"Nunik..."
"Bakal jadi menantu tercantik?"
"Eh? Iyalah! Empat menantu Amak. lelaki semua, kan?"
Kuledakkan tawa. Amak juga. Aku berdiri, meraih handuk. Segera ke kamar mandi. Itu caraku. Agar amak berhenti bicara tentangmu. Bukan aku tak suka. Aku khawatir. Akan menambah beban fikiran. Jika amak tahu situasi yang kuhadapi.
Usai taraweh. Aku, Iir juga Endi dan beberapa orang lainnya. Duduk di depan studio. Suasana malam itu cerah. Masih banyak jemaah yang tak langsung pulang. Bercengkrama nikmati malam. Endi sodorkan segelas kopi susu padaku. Masih hangat.